#navbar-iframe { display: none !important; } PANGKARAS: 2010

Minggu, 16 Mei 2010

MALAPETAKA KKN II : DI TENGAH BADAI

Bella, mahasisiwi fakultas kedokteran adalah mahasiswi yang paling cerdas diantara keenam orang mahasiswi itu. Wajahnya bulat dan cantik dengan rambut dipotong pendek. Kacamata kecil menghiasi wajahnya membuatnya terlihat makin berwibawa. Dia juga yang terlihat paling dewasa diantara kawan-kawannya.Sebagai mahasiswi kedokteran, Bella bertugas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan. Dia juga sering bertugas di puskesmas sebagai tenaga medis karena di desa itu tidak ada dokter yang bertugas. Satu-satunya petugas kesehatan yang ada hanyalah mantri kesehatan yang kemampuannya jelas kurang memadai.Suatu ketika saat Bella sedang bertugas di puskesmas, tiba-tiba datang seorang pria setengah baya yang terburu-buru menemuinya. Bella mengenalnya, pria itu adalah Pak Hasan, salah satu kerabat dekat kepala desa. Pak Hasan walaupun sudah tua, limapuluh tahun tapi terlihat masih kuat dan kekar. Dulunya Pak Hasan adalah jawara desa yang sangat ditakuti. Tampangnya seram, rambutnya yang penuh uban tumbuh tidak teratur seolah tidak pernah tersentuh air, senada dengan kumis dan janggut kambingnya yang juga tidak terawat, tampangnya semakin sangar dengan sebuah bekas luka yang menoreh pipi kirinya, separti luka bekas bacokan senjata tajam“Pak Hasan… ada apa Pak?” Tany Bella dengan tergopoh-gopoh. Pak Hasan yang terengah-engah tidak segera menjawab. Dia masih terbungkuk mencoba mengatur nafasnya, sepertinya dia baru saja berlari mengelilingi desa.“Eh.. tolong Neng Dokter.. ibunya.. anu.. maksud saya.. istri saya..” Pak Hasan berujar terputus-putus di tengah nafasnya yang tidak teratur.“Istri Bapak kenapa..?”“Tidak tahu Neng Dokter.. tahu-tahu panasnya tinggi dan muntah-muntah.”“Di mana sekarang istri Bapak?” Bella bertanya bingung. “Kenapa tidak dibawa ke sini..?”“Di rumah Neng.. boro-boro dibawa ke sini, jalan saja susah, kalau bisa Neng Dokter yang ke sana,” Pak Hasan menunjuk ke arah luar, maksudnya mungkin menunjuk ke arah rumahnya.“Iya Pak.. sebentar saya ambil tas dulu.” Bella segera menyambar tas peralatannya, dan tanpa menunggu persetujuan, Pak Hasan menarik tangan Bella, Bella mengikuti dengan langkah terseret.“Aduh.. tunggu Pak.. jangan cepat-cepat,” Bella mengeluh, dia memakai sepatu hak tinggi, tentu saja susah kalau diajak jalan cepat.“Kalau tidak cepat nanti keburu hujan Neng,” Pak Hasan menunjuk ke atas. Bella ikut menengok, langit terlihat suram karena tertutup mendung tebal. Mereka segera mempercepat jalannya. Tapi perkiraan Pak Hasan tepat, baru setengah perjalanan hujan sudah mulai turun dan makin lama makin deras, membuat keduanya basah kuyup. Bella merasakan tetes air sebesar kelereng seperti hempasan peluru yang menghajar tubuhnya. Tubuhnya menggigil kedinginan sementara tidak ada tempat untuk berteduh. Akhirnya mereka terpaksa berjalan di tengah badai.Sampai di rumah Pak Hasan hujan belum reda sedikitpun, bahkan makin deras. Bella merasa lega akhirnya bisa berteduh, baju yang dipakainya sudah basah kuyup oleh air hujan menciptakan genangan kecil tiap kali dia berhenti. Di teras rumah Pak Hasan ada dua orang pria yang sepertinya juga sedang berteduh menghindari hujan yang kian menggila.“Lho.. Parjo.. Somad.. kalian di sini..?” Pak Hasan mengenali mereka, mereka adalah petugas Hansip desa yang sering ronda kalau malam hari.“Eh iya Pak.. tadi barusan dari desa sebelah, baru sampai di tengah prjalanan kehujanan,” ujar Parjo, pria bertubuh gemuk dengan rambut botak di bagian depannya, menyeringai. Di sebelahnya, Somad yang bertubuh pendek tapi gempal dengan rambut dipangkas pendek bak tentara, juga menyeringai.“Kok sama Neng Dokter ini Pak..?” Parjo bertanya dengan nada tertahan seolah tidak ingin mencampuri urusan pribadi Pak Hasan. Sesekali matanya melirik ke arah Bella. Tatapannya bagaikan srigala lapar yang siap menerkam mangsanya. Bella mendadak merasa risih ditatap oleh Parjo dan Somad, seolah kedua orang itu mampu melihat menembus pakaiannya.“Istri saya sedang sakit.” Pak Hasan menjawab kalem. Parjo dan Somad hanya menjawab dengan O panjang. Pak Hasan lalu menyuruh mereka masuk.“Neng Dokter bajunya basah kan.. nanti pakai saja baju punya anak saya.” Kata Pak Hasan. Dia masuk ke salah satu kamar dan tak lama kemudian keluar lagi dengan membawa beberapa lembar pakaian.“Eh.. “ Bella menatap Pak Hasan. “Boleh saya numpang ganti baju Pak?”“Oh ya.. di situ saja..” Pak Hasan menunjuk ke arah kamar belakang yang sebagian dindingnya terbuat dari kayu triplek tipis.Bella yang sudah kedinginan bergegas masuk ke dalam kamar itu dan segera mengunci pintunya. Kamar itu tidak seberapa luas, hanya berukuran dua kali tiga meter dan terkesan kosong, ada sebuah ranjang kayu usang di dekat dinding sebelah kiri pintu dan sebuah lemari kayu yang juga usang. Beberapa poster artis India tertempel di dinding secara acak dan tidak teratur.Bella untuk sesaat hanya berdiri seperti bengong. Dia kemudian meletakkan baju pemberian Pak Hasan di atas ranjang. Kemudian dengan gerakan perlahan dia mulai membuka satu persatu pakaiannya. Mula-mula kausnya yang basah kuyup sehingga tubuh bagian atasnya sekarang hanya berbalut Bra berwarna pink berenda. Tubuhnya jelas sekali terawat dengan baik. Putih dan mulus. Payudaranya terlihat padat dan ketat di balik mangkuk Branya. Lalu Bella mulai menurunkan celana panjangnya, sepasang kaki yang jenjang dan mulus terlihat begitu elok dipandang, pahanya yang padat dengan pinggul membulat berakhir pada pinggang yang ramping. Sebuah celana dalam yang juga berwarna pink berenda melekat di bagian segitiga selangkangannya. Pantatnya terlihat begitu padat, dan meskipun masih berada di balik celana dalam, tidak dapat dipungkiri pantat itu sangat bagus, padat dan mulus, semulus bagian tubuh Bella yang lain.Bella kemudian menyeka seluruh tubuhnya dengan selembar handuk dengan gerakan tenang seolah di rumah sendiri, bahkan Bella terdengar bersenandung kecil. Tanpa disadarinya, ada sesuatu yang bergerak liar di luar mengikuti setiap gerakannya dengan tatapan mata yang liar. Rupanya di luar kamar, Parjo sedang berkasak-kusuk di dekat tembok kamar tempat Bella berganti baju. Rupanya sejak dari awal Parjo bertemu Bella di rumah Pak Hasan, Parjo mempunyai niat jahat pada Bella. Dia hafal seluk beluk rumah Pak Hasan karena sering sekali menginap di situ. Dia tahu di dinding kamar itu ada celah kecil yang tersembunyi jika diilihat dari dalam, letaknya agak di bawah dekat dengan lemari. Parjo dengan nekat mencoba melebarkan celah itu dengan menggunakan pisau hansip yang saat itu dibawanya. Celah itu membuka cukup lebar untuk Parjo bisa mengintip ke dalam. Dan Parjo dengan jelas bisa melihat apa yang terjadi di dalam, dan dengan jelas pula dia bisa melihat kemulusan tubuh Bella yang hanya berbalut celana dalam dan Bra.Parjo meneguk ludahnya menyaksikan kemulusan dan kemolekan tubuh Bella. Tubuhnya panas dingin dan gemetar menahan dorongan seksualnya yang tiba-tiba bangkit saat menyaksikan tubuh yang nyaris telanjang itu.“Apa yang..” Pak Hasan dan Somad yang tahu-tahu sudah ada di dekat Parjo melongo tertegun menatap ulah Parjo. Parjo terkejut sesaat dan beringsut mundur. “Ngapain kamu..?” Pak Hasan bertanya, tapi dengan suara lirih. Parjo menunjuk ke arah celah yang dibuatnya. Pak Hasan lalu ikut mengintip ke dalam. Seperti Parjo, diapun meneguk ludah menyaksikan tubuh Bella yang mulus itu. Gairah kelelakiannya bangkit seketika, nafasnya terengah-engah menahan gejolak liar dari dalam tubuhnya.“Mulus banget Pak…” Parjo berbisik. Pak Hasan hanya mengangguk tanpa menggeser tubuhnya dari tempat mengintip itu. Dilihatnya Bella sedang menimbang-nimbang apakah perlu melepaskan Bra dan celana dalamnya juga.“Buka… ayo buka..” Pak Hasan bergumam lirih pada dirinya sendiri. Tapi dia kecewa karena Bella memutuskan untuk tetap memakai pakaian dalamnya dalam keadaan basah. Pak Hasan makin kecewa saat Bella memakai baju pemberiannya, seolah menyesali keputusannya memberikan baju itu pada Bella.Ketika Bella keluar kamar, Pak Hasan dan Parjo bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, meskipun begitu Parjo tidak dapat menahan diri untuk terus menatap tubuh Bella, terutama pada bagian payudara, selangkangan dan pantatnya. Bella sendiri tidak tahu kalau beberapa saat yang lalu tubuhnya dijadikan obyek wisata. Dia segera bergegas memeriksa keadaan istri Pak Hasan yang sedang sakit, yang terbaring lemah di ranjang. Bella kemudian memriksa kadaan istri Pak Hasan. Tanpa disadari oleh Bella, Pak Hasan dan Parjo sedang berkasak-kusuk merencanakan sesuatu.Bella lalu berdiri sambil menatap ke arah Pak Hasan.“Dia nggak apa-apa, cuma terserang flu berat, sekarang sudah tidur.” Kata Bella lembut. “Dia cuma perlu istirahat.”“Terima kasih Neng Dokter,” Pak Hasan mengucapkan terima kasihnya sambil menyilakan Bella duduk di ruang tengah. Ada secangkir minuman di tangan Pak Hasan.“Silakan diminum dulu Neng,” Pak Hasan menyodorkan cangkir di tangannya sambil tersenyum aneh. Bella menerimanya dengan canggung sambil mengucapkan terima kasih. Bella perlahan meneguknya sedikit, bukan teh, bukan pula kopi, cairan hangat yang mengalir di dalam tenggorokannya terasa aneh, segar dan membangkitkan sesuatu dari dalam dirinya, seperti kehangatan yang sulit dilukiskan.“Minuman apa ini Pak..?” tanya Bella sambil menatap penuh tanda tanya.“Oh.. itu minuman tradisional desa ini Neng, dibuat dari daun teh liar dari hutan sini..” Pak Hasan menjawab ringan. “Habiskan Neng.”Bella agak ragu untuk meneguknya lagi, tapi dia merasakan tubuhnya yang tadi kedinginan mendadak menjadi hangat, maka Bella sedikit demi sedikit meneguk minuman itu sampai habis.Sesaat Bella merasakan tubuhnya hangat dengan kehangatan yang tidak lazim. Seperti ada yang menyalakan api kecil di dalam tubuhnya, kepalanya perlahan seperti berputar dan pandangannya mengabur membuat keadaan di sekelilingnya menjadi berwarna abu-abu. Bella juga merasakan dorongan aneh di dalam tubuhnya, seperti seekor kuda liar yang berusaha mendesak keluar. Mendadak badannya menjadi terasa gelisah, keringat mulai menetes dari tubuh Bella. Desakan asing dari dalam tubuhnya membuat Bella seolah ingin secepatnya melepaskan seluruh pakaiannya dan membuatnya seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dalam keadaan seperti itu Bella merasa tubuhnya seperti diangkat dan dipindahkan dari ruangan tengah dan direbahkan ke sebuah tempat yang lembut dan lebar. Setelah beberapa saat Bella kemudian benar-benar hilang kesadaran.Beberapa saat kemudian Bella terbangun dari tidurnya. Untuk beberapa saat Bella merasakan keanehan yang terjadi pada dirinya, Dia sekarang berada di sebuah kamar sempit dan terbaring di atas sebuah ranjang lebar berbau melati. Samar-samar dilihatnya ada tiga orang yang berdiri di dekatnya mengelilingi tubuhnya.“Pak Hasan..” Bella mengejapkan matanya untuk melihat lebih jelas, perlahan bayangan samar yang dilihatnya mulai menampakkan bentuk aslinya, Pak Hasan, Parjo dan Somad berdiri mengelilinginya di pinggir ranjang. Ketiganya hanya memakai celana kolor.Bella berusaha bangun, tapi tubuhnya lemas sekali, pengaruh minunam yang diminumnya membuat sekujur badannya lemas.“Sudah bangun Neng..” Pak Hasan berujar sambil tersenyum dengan tatapan matanya memelototi Bella. Parjo dan Somad bahkan menatap Bella tanpa berkedip sedikitpun sambil sesekali menguk ludahnya. Bella merasa ada yang salah dengan tubuhnya melihat ketiga orang itu menatapnya. Dan beberapa detik kemudian Bella baru sadar kalau dirinya terbaring di atas ranjang dalam keadaan telanjang bulat, tanpa selembar benangpun menutupi tubuhnya.“Apa yang kalian lakukan pada saya..?” Bella menjerit, tapi suaranya terdengar terlalu lemah, dia berusaha mundur dan bangkit, tapi tubuhnya tidak bertenaga, dia hanya mampu menutupi payudaranya yang telanjang sambil berusaha merapatkan kakinya.“Hehehehe..” Pak Hasan tertawa pelan. “Belum ada sih Neng, soalnya kami baru saja selesai menelanjangi Neng Dokter.”“Jangan Pak.. jangan.. jangan sakiti saya..” Bella mulai menangis sambil berusaha berontak, meskipun dia terlalu lemah untuk itu, yang dilakukannya hanya mengejang-ngejang di atas ranjang yang justru membuat gerakan erotis karena dirinya dalam keadaan bugil.“Oh.. tentu tidak Neng, Bapak hanya ingin senang-senang sedikit saja,” kata Pak Hasan sambil menoleh ke arah Parjo dan Somad yang menyeringai liar.“Tidak apa-apa Neng.. Bapak hanya minta Neng melayani Bapak sebentar saja, Bapak sudah lama tidak mendapat jatah dari istri Bapak.” Kata Pak Hasan“Jangan Pak.. jangan.. saya tidak mau..” Bella menangis sesenggukan sambil menggeleng ketakutan.“Jangan nangis Neng, Bapak janji bakal muasin Neng Dokter juga, malah mungkin Non yang ntar ketagihan” katanya setengah berbisik, hembusan nafasnya terasa di telinganya. Bella merinding mendengar usapan itu, sama sekali tidak disangkanya Pak Hasan tega melakukan hal ini padanya, Bella memang sudah tidak perawan, tapi dia tidak mau dijadikan pelampiasan nasu seorang tua bangka seperti Pak Hasan.“Neng Dokter cantik sekali..” Pak Hasan menyeka air mata yang membasahi pipi Bella lalu mengalihkan wajah cantik itu berhadapan dengan wajah buruknya, dilumatnya bibirnya yang mungil itu dengan kasar, sementara tangan kanannya meremas-remas payudaranya. Bella memejamkan mata dan meronta berusaha melepaskan diri, namun tenaganya terlalu lemah untuk melawan Pak Hasan, malah rontaan itu membuat Pak Hasan makin bernafsu mengerjainya. Ketika tangan Pak Hasan mulai merogoh bagian kewanitaannya, dia tersentak dan mulutnya sedikit membuka, saat itulah lidah Pak Hasan menerobos masuk ke mulutnya dan melumatnya habis-habisan, lidah Pak Hasan menyapu telak rongga mulutnya. Bella merapatkan pahanya untuk mencegah tangan Pak Hasan masuk lebih jauh, namun dengan begitu Pak Hasan malah senang bisa sekalian membelai paha mulusnya sambil tangannya makin menuju ke selangkangan. Sekali lagi tubuhnya tersentak seperti kesetrum karena jari Pak Hasan telah berhasil mengelus belahan vaginanya. Desahan tertahan terdengar dari mulutnya. Tangan Pak Hasan menyusup menyentuh permukaan kemaluan Bella yang ditumbuhi bulu-bulu halus.Bella mengejang sesaat ketika tangan itu menyentuh kemaluannya, campuran antara sensasi yang ditimbulkan sentuhan tangan itu dan pengaruh minuman yang tadi diminumnya membuat tubuhnya menegang sesaat. Bella mulai merasakan getaran-getaran yang mengenai syaraf seksualnya, tanpa sadar Bella mendesah.“Ahhhhhh… ehsssss…. ohhhkkkhhhh…’ Bella merintih dan bergerak liar merespon sentuhan Pak Hasan. Pak Hasan melihat reaksi itu semakin bersemangat. Pak Hasan lalu berusaha membuka kedua belah paha Bella lebar-lebar sambil terus menerus menciumi bibir Bella. Nafas gadis itu semakin memburu dan wajahnya yang putih merona merah karena rangsangan-rangsangan gencar Pak Hasan. Tangan Pak Hasan akhirnya berhasil membuka paha Bella membuat vagina Bella sekarang terbuka lebar, vagina itu terlihat bagus dengan ditumbuhi rambut halus dan rapi.Parjo dan Somad yang melihat aksi Pak Hasan mengerjai Bella hanya bisa meneguk ludah sambil mengocok penis mereka sendiri.“Ohh.. jangan lama-lama Pak.. kami juga kebelet..” Parjo mengerang pelan sambil meneguk ludah.“Hehehe.. giliran kalian nanti ya..” Kata Pak Hasan. Kemudian Pak Hasan mulai memainkan jari-jarinya di vagina Bella sambil terus menciumi dan mengulum bibir Bella Lidah Bella yang berusaha menolak lidahnya justru semakin membuatnya bernafsu mencumbunya. Beberapa saat lamanya Pak Hasan terus menciumi bibirnya dan mengelus-elus bibir vaginanya. Jari-jari Pak Hasan yang ditusuk-tusukkan ke vaginanya sadar atau tidak telah membangkitkan libidonya. Menyadari perlawanan korbannya melemah, Pak Hasan menyerang daerah lainnya, payudara Bella yang telanjang perlahan mulai diremas oleh Pak Hasan. Bella berusaha menepis tangan Pak Hasan dan menutupi dadanya dengan menyilangkan tangan, namun Pak Hasan mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan melebarkannya ke samping badan. Dia memejamkan mata dan menangis, seorang bertampang buruk dan seusia ayahnya meremas, menjilati dan mengenyot payudaranya.Gadis itu menggeliat-geliat dengan suara-suara memelas minta dilepaskan yang hanya ibarat menambah minyak dalam api birahi pemerkosanya. Cukup lama Pak Hasan menyedoti payudara Bella sehingga meninggalkan bekas cupangan memerah pada kulit putihnya dan jejak basah karena ludah. Jilatannya menurun ke perutnya yang rata sambil tangannya terus memainkan payudara Bella.‘Tidak…jangan Pak, jangan !” ucap Bella memelas sambil merapatkan kedua belah paha ketika Pak Hasan mau menjilati vaginanya.Pak Hasan hanya menyeringai lalu membuka paha Bella dengan setengah paksa lalu membenamkan wajahnya pada vagina gadis itu. Tubuh Bella menggelinjang begitu lidah Bella yang panas dan kasar itu menyapu bibir kemaluannya, bagi Bella lidah itu adalah lidah pertama yang pernah menyentuh daerah itu, tubuhnya menggelinjang dan darahnya berdesir merasakan sensasinya. Pak Hasan berlutut di ranjang dan menaikkan kedua paha Bella ke bahu kanan dan kirinya sehingga badan gadis itu setengah terangkat dari ranjang, dengan begitu dia melumat vaginanya seperti sedang makan semangka.“Sudahhh Pak…ahh…aahh !” desah Bella memelas saat lidah Pak Hasan masuk mengaduk-aduk bagian dalam vaginanya.Sekalipun hatinya menolak, tubuhnya tidak bisa menolak rangsangan yang datangnya bertubi-tubi itu. Harga diri dan perasaan ngerinya bercampur baur dengan birahi dan naluri seksual.Sekitar seperempat jam Pak Hasan menikmati vagina Bella demikian rupa, dengan lihainya dia menyedot dan menjilati klitoris gadis itu menghanyutkannya dalam permainan liar ini.“Eenngghh…aaahh !” Bella pun akhirnya mendesah panjang dengan tubuh mengejang. dia menyedoti bibir vagina Bella sehingga tubuhnya makin menggelinjang. Orgasme pertama begitu dahsyat baginya sehingga membuatnya takluk pada pria itu. Parjo dan Somad yang melihat Bella orgasme tertawa senang.“Hehehehe.. ternyata konak juga, tadi nolak-nolak tuh.. dasar pelacur, dimana-mana sama saja..” Parjo berujar datar.“Iya nih… tadi berlagak nggak mau, ternyata nyampe juga..” timpal Somad yang juga masih mengocok-ngocok penisnya sendiri.“Nah.. kalau begitu Neng dokter sudah siap ya..” kata Pak Hasan. Bella tahu maksud ‘siap’ yang dilontarkan Pak Hasan. Dirinya memang terangsang hebat oleh perlakuan Pak Hasan, meskipun pikirannya menolak, tapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Bella yang sudah mulai kehilangan akal sehatnya hanya terdiam. Diamnya Bella itu bagi Pak Hasan dan kawan-kawannya dianggap sebagai lampu hijau dari Bella untuk menidurinya. Perlahan Pak Hasan mulai menarik kedua belah kaki jenjang Bella ke arah luar sehingga terpentang lebar membuat vaginanya terkuak. Lalu perlahan Pak Hasan mulai menindih tubuh mulus Bella yang telanjang bulat. Pak Hasan merasakan kenyalnya payudara Bella menekan dadanya dengan lembut.Perlahan-lahan, Pak Hasan lalu menaikkan kedua kaki Bella yang masih mengangkang sehingga melingkari pinggulnya yang kekar. kedua pahanya kini melingkari bagian perut Pak Hasan. Kemudian Pak Hasan menggosok-gosokkan batang penisnya ke kemaluan Bella.membuatnya kegelian merasakan kemaluan Pak Hasan yang menyentuh kemaluannya. Setelah penis Pak Hasan mengeras sepenuhnya dan siap dipakai, dia lalu mengarahkan kemaluannya yang panjang dan hitam legam itu ke arah bibir kemaluan Bella. Siap untuk dibenamkan ke dalamnya. Merasa batang penisnya telah siap lalu Pak Hasan mendorong pinggangnya maju mendesak pinggul Bella membuat penisnya masuk ke dalam vagina Bella. Saat penis Pak Hasan melesak ke dalam kemaluan Bella, spontan Bellapun mengejang. Jeritan tertahan di tenggorokannya. Sebentar kemudian, ia pun meringis…. kedua matanya terpejam menahan nyeri dan sakit pada rahimnya. Tak terasa air matanya pun menetes…“Aduuuh…….. Paak…!! Ampuuun…” jeritnya halus mengiba. Pak Hasan masih mendorong penisnya untuk masuk terus hingga dasar kemaluan Bella. Bella pun terus menangis dan air matanya menetes membasahi pipinya yang putih saat itu. Tubuhnya pun terguncang-guncang di bawah tubuh kekar Pak Hasan.Mengetahui tangisan Bella saat menerima penisnya masuk, Pak Hasan lalu memeluk Bella dengan ketat dengan posisi tetap di atas tubuh putih Bella. Ia peluk Bella dan diciuminya bibir Bella seakan tidak ingin terpisahkan. Pak Hasan ingin bibir mereka juga menyatu sama seperti tubuh mereka yang telah menyatu saat itu.Bella meronta mencoba mendorong tubuh Pak Hasan yang menindihnya tapi dirinya terlalu lemah, rontaan Bella bukannya membuat Pak Hasan bergeser justru membuatnya semakin bernafsu, sensasi yang didapatnya saat vagina Bella mencengkeram penisnya benar-benar membuatnya merasa nikmat. Pak Hasan tetap mendiamkan penisnya yang panjang dan besar itu di dalam kemaluan Bella. Ia ingin mereguk kehangatan tubuh gadis cantik itu dengan sempurna. Khususnya kehangatan yang berasal dari cengkeraman vaginanya. Apalagi dinding-dinding kemaluan Bella terasa berdenyut-denyut. meremas penis Pak Hasan yang keras. Ia pun menikmati semua itu sambil terus mengulum bibir Bella dan menjilati bagian belakang telinganya yang basah oleh keringat. Dari tengkuk Bella jilatannya terus berpindah kearah bahu yang putih bersih hingga menampakkan aliran merah darah dari urat-urat Bella. Nafsu Pak Hasan terus terpacu karena wangi tubuh Bella yang juga masih tercium aroma minyak wangi mahal yang telah bercampur dengan keringatnya saat itu. Setelah puas di bahu, lalu ia turun ke arah payudara Bella yang bernomer 34B itu. Mulut Pak Hasan terus bermain-main dengan puting dan belahan Payudara Bella. Jejak cupangan merah mulai banyak menghiasi kedua payudara yang putih dan mulus itu.Diperlakukan sebegitu rupa, pelan-pelan bertahanan Bella jebol, tubuhnya sudah tidak mematuhi perintah otaknya yang menolak cumbuan Pak Hasan, desakan luar biasa sebagai akibat pengaruh minuman yang diberikan Pak Hasan benar-benar bagaikan kuda binal yang menghentak-hentak di setiap ujung syaraf kenikmatan seksual Bella. Cengkeraman Bella pada bahu Pak Hasan makin mengers dan tubuh Bella akhirnya mengejang keras seperti dialiri listrik yang membuatnya terhentak. Wajah Bella merah padam seperti menahan sesuatu yang inginn dilepaskan. Akhirnya diiringi desahan lirih, Bella mencapai orgasme untuk yang kedua kalinya.Pak Hasan menyadari Bella kembali dilanda orgasme, karena vagina Bella dirasakan mencengkeram penisnye dengan kuat seperti cengkeraman tangan baja. Pak Hsan kemudian mulai mengerakkan pantatnya maju mundur untuk menggenjot kemaluannya ke dalam liang vagina Bella. Sedang kedua tangannya memegangi pinggang Bella agar tetap di tempatnya. Bella perlahan-lahan menikmati genjotan Pak Hasan yang kasar itu. sementara kedua tangannya tergeletak ke samping sambil meremas-remas seprei yang sudah tak jelas warnanya itu. itu yang terdengar hanya dengus nafas dan erangan kedua orang yang sedang bersetubuh itu.Selama setengah jam lamanya Pak Hasan menyetubuhi Bella, ditonton oleh Parjo dan Somad yang sudah blingsatan setengah mati menahan gejolak yang menggebu. Sungguh sebuah ketahanan yang luar biasa, terutama mengingat umur Pak Hsan yang sdah tua, Sementara Bella semakin lama makin menikmati persetubuhan itu. Tanpa sadar dia mulai mengimbangi gerakan Pak Hasan, bahkan saat Pak Hasan berhenti menggenjot vaginanya, Bella spontan menggerakkan pantatnya sendiri maju mundur. Respon yang diberikan Bella membuat Pak Hasan makin bersemangat. Kemudian Pak Hasan membuat gerakan memutar-mutarkan pantatnya sehingga penisnya seperti mengaduk vagina Bella. Bella merasakan batang penisnya menyentuh seluruh rongga vaginanya, terasa berputar putar, terasa sangat penuh, sampai akhirnya Bella merasakan penis Pak Hasan berdenyut denyut di dalam rongga vaginanya dan Bella sendiri sudah akan mencapai orgasme yang ketiga kalinya. Tubuh Bella kembali mengejang, tanpa sadar Bella memeluk badan Pak Hasan dan mencakari punggungnya dengan garukan keras.“AHHHHHKKKKHHHHHHHHH………………….” Bella mengerang kuat, seluruh enersinya tumpah keluar saat orgasme untuk ketiga kalinya, pada saat itulah Pak Hasan mencapai puncaknya.“AAAARRRRGGGGHHHHHH …..” Pak Hasan berteriak kuat-kuat sambil menjambak rambut Bella, badannya melengkung ke atas sambil wajahnya menunjukkan ekspresi puas luar biasa dan kemudian spermanya menyembur bagitu banyak di dalam rongga rahim Bella. Akhirnya tubuh kedua insan yang baru saja melakukan persenggamaan itu melemas kembali. Pak Hasan selama beberapa menit membiarkan tubuhnya menindih tubuh putih mulus Bella, mencoba merasakan sebanyak mungkin kenikmatan dari tubuh gadis cantik dan terpelajar itu sepuas-puasnya sambil sesekali mulutnya mencium dan mengulum bibir Bella. Bella kembali meneteskan air matanya, tapi dia tidak dapat memungkiri kalau dirinya baru saja menerima pengalaman seksual yang sangat luar biasa sehingga di dalam hatinya dia ingin lagi dan lagi disetubuhi oleh mereka.Pak Hasan akhirnya melepaskan penisnya dari jepitan vagina Bella. Dia sendiri kemudian terkapar lemas di samping Bella sambil mengelus rambut Bella.“Sekarang giliran saya Pak..” suara Parjo yang bergetar membuat Pak Hasan tersadar. Dia lalu berdiri dan menjauh.“Nah.. giliranmu sekarang Jo..” kata Pak Hasan. Parjo hanya tersenyum liar sambil memandangi tubuh Bella yang basah oleh keringat. Parjo tipe orang yang tidak sabaran, apalagi dia memang sudah sejak tadi terangsang hebat melihat adegan persetubuhan Bella dengan Pak Hasan, Parjo segera menarik tubuh bugil Bella yang tergolek lemas di atas ranjang lalu dibalikkannya tubuh Bella sampai menelungkup.“Saya mau nyoba gaya anjing boleh ya Neng..” Parjo berlagak sopan. Lalu dengan kasar ditariknya pantat Bella sampai menungging membuat Bella sekarang dalam posisi pantat lebih tinggi dari kepalanya. Parjo kemudian berlutut tepat di belakang Bella sambil segera melepaskan celananya, dan sebatang penis sepanjang 20 cm dengan diameter sekitar 4 cm segera mengacung keras. Parjo mengarahkan penisnya ke bibir vagina Bella yang sudah basah oleh cairan lendir dan sperma Pak Hasan kemudian Parjo segera menekankan penisnya ke dalam vagina Bella, Bella menjerit kecil sambil mendongak, meskipun penis itu masuk tanpa perlawanan akibat vaginanya yang sudah licin, tapi karena ukurannya yang besar membuat Bella merasa kesakitan.“Oookkkhhh….” Bella meringis menahan sakit pada vaginanya. Air matanya sampai meleleh kembali di pipinya yang mulus. Sementara Parjo memejamkan matanya merasakan sensasi jepitan vagina Bella pada penisnya. Kemudian Parjo pelan-pelan mulai menggoyangkan pantatnya membuat penisnya mendesak lebih dalam di dalam vagina Bella. Sentakan itu membuat Bella mengejang sambil merintih.“Akkhh… sakiit Paak.. aduuuhhh.. sakiit..” Bella merintih sambil menghiba.“Sakit ya? Tenang saja Neng, sebentar lagi juga enak, tadi kan Neng dokter seneng banget waktu digenjot sama Pak Hasan..” Parjo mengejek. Sambil memegangi pantat Bella, Parjo mulai memaju-mundurkan pinggulnya dengan frekuensi genjotan makin naik. Setiap pria itu menyentakkan pinggulnya, Bella mendesah keras sampai suaranya terdengar keluar, dia merasa perihpada vaginanya, namun juga ada rasa nikmat bercampur di dalamnya, penis yang menyesaki liang kemaluan itu menggesek-gesek klitorisnya yang tentu saja merangsang gairahnya. Parjo melenguh-lenguh menikmati penisnya menggesek-gesek dinding vagina Bella yang masih ketat. Bella sendiri mulai bangkit kembali gairah seksualnya. Dia lama-lama bisa mengimbangi gerakan kasar Parjo. Pinggul Bella kini malah ikut bergoyang mengimbangi sentakan-sentakan Parjo. Lama-lama Bella pun tidak tahan lagi, tubuhnya menggelinjang karena klimaks.“Ooohhhhhh……….” desahan panjang terdengar dari mulutnya, dia merasakan mengeluarkan cairan dari vaginanya meleleh keluar dari selangkangannya. Selama klimaksnya, Parjo tidak sedikitpun berhenti maupun memperlambat genjotannya, sebaliknya dia semakin bersemangat melihat gadis cantik itu telah takluk.Setelah selama sekitar limabelas menit menggagahi Bella dengan gaya anjing, rupanya Parjo kurang puas, dengan gerakan kasar dia mendorong tubuh Bella membuat penisnya yang masih menancap di vagina Bella terlepas dari jepitan vagina itu. Lalu Dipaksanya Bella duduk berhadap-hadapan dengannya. Ditatapnya wajah Bella yang cantik itu, wajah itu terlihat sangat memelaskan tapi tidak membuat Parjo merasa iba, dia justru merasa kenikmatannya bertambah.“Sekarang Neng dokter yang goyang ya..” kata Parjo. Bella hanya bisa mengangguk, lalu mulai menggerakkan pantatnya maju mundur sambil melingkarkan kaki mulusnya ke pinggang Parjo. Parjo mengimbanginya dengan mencengkeram pantat Bella dan mendorong pantatnya maju mundur. Sementara bibirnya sibuk menyusu pada payudara Bella sambil sesekali mengulum dan menjilati puting payudara Bella. Selama beberapa menit berikutnya yang terdengan hanyalah gesekan penis Parjo di dalam vagina Bella diiringi dengan desahan erotis dari bibr Bella yang mungil, sementara Parjo tanpa henti terus mengaduk-aduk vagina Bella membuat Bella makin merasa nikmat, pelan-pelan birahi Bella kembali meninggi dan akhirnya Bella bersedia mengimbangi setiap gerakan Parjo, membuat mereka bisa berpadu dengan serasi dalam mencapai puncak kenikmatan seksual.Selang beberapa menit, Parjo perlahan merebahkan kembali tubuh mulus Bella yang sekarang kembali basah oleh keringat membuat posisinya kembali tertindih tubuh Parjo, tapi dengan kedua kaki masih melingkari pinggul Parjo. Parjo tanpa berhenti terus menggenjotkan penisnya di dalam vagina Bella, hal itu membuat Bella makin terhanyut, desahannya makin menjadi-jadi, tubuhnya makin lama makin menegang, tangannya mencngkeram kasur dengan sangat erat dan beberapa menit kemudian Bella akhirnya tidak tahan lagi, orgasmenya meledak.“OOOOHHHHH……………………..” Bella mengerang kuat-kuat sambil badannnya melengkung membuat payudaranya mencuat menekan dada Parjo dengan lembut. Parjo merasakan vagina Bella berdenyut-denyut, seolah menyempit dan meremas penisnya dengan kekuatan cengkeraman tangan, sensasi itu membuat Parjo megap-megap, dia tidak tahan lagi, sensasi dahsyat menghantam sekujur tubuhnya seolah cakar harimau yang merobek tubuhnya dari dalam.“AHHHHHKKHHHH…………….” Parjo tidak tahan lagi, dengan erangan keras dia menyentakkan penisnya dengan keras ke dalam vagina Bella, lalu saat itu juga spermanya menyembur dengan deras membanjiri rahim Bella. Tubuh Parjo menegang sesaat sebelum melemas lagi. Parjo ambruk setelah mendapat orgasme yang luar biasa. Belum pernah Parjo melakukan hubungan seks senikmat ini, kenikmatan yang diperolehnya daripara pelacur yang pernah digaulinya jelas tidak ada seujung kuku jika dibandingkan dengan kenikmatan yang didapatkannya saat menggauli tubuh gadis secantik Bella.“Ohhh… gila, enak banget memeknya Neng dokter..” kata Parjo lirih di telinga Bella. Bella hanya diam saja meskipun air matanya meleleh membasahi pipinya. Tapi meskipun sedih, Bella juga merasakan kenikmatan yang tiada taranya saat digauli oleh Parjo. Pacarnya sekalipun belum pernah memberikan kenikmatan begitu dahsyat seperti yang baru saja dialaminya bersama Parjo dan Pak Hasan. Karena itu Bella diam saja ketika dilihatnya Somad naik ke ranjang menggantikan posisi Parjo.“Sekarang giliran saya Neng..” ujar Somad sambil cengar-cengir. Bella hanya menatapnya dengan tatapan sayu. Somad untuk beberapa saat hanya mengagumi tubuh telanjang Bella yang terlentang di hadapannya.“Astaganaga, gila bodinya Neng dokter mantap banget nih, wah beruntung banget nih kita, ” kata Somad, ” Lalu tanpa ba bi bu lagi tubuh Bella langsung diterkamnya.“Hmmphhh ungghhh pak… hmmph,” Bella merasa sangat sesak sekali, karena selain tubuh Somad yang gempal itu, nafas dan bau badannya sangat mengganggu, tapi Somad tidak mempedulikannya, Mulut Bella langsung dijilatnya tanpa menghiraukan rintihan Bella, lidahnya mulai berhasil menembus mulut Bella, dan selama beberapa saat keduanya saling bergulat bibir dengan ganas.Tiba–tiba tanpa peringatan Somad langsung menjambak rambut Bella membuat Bella kesakitan.“AAhhh sakit pak.” Bella merintih, Somad justru menyeringai.‘Keluarin lidahnya Neng dokter…” Somad memberi perintah, dan dalam keadaan seperti itu Bella hanya pasrah, dijulurkannya lidahnya yang berwarna pink. Somad tanpa pikir panjang langsung mengulum lidah Bella tanpa merasa jijik sedikitpun. Lidah Bella bahkan di permainkan di mulutnya Kemudian Somad mulai meremas remas payudara Bella, ia mainkan puting susu Bella seperti orang ingin mencari gelombang radio, Somad juga menjilat-jilati puting susu Bella dan dimainkan terus sehingga puting susu Bella mengeras dan mengacung dengan indahnya, Bella kembali menegang, birahinya seperti dibakar kembali, dan tanpa sadar Bella kembali hanyut dalam permainan yang kali ini dilakukan oleh Somad. Bella hanya mampu mengerang menahan gejolaknya yang kembali menggebu.Melihat Bella yang sudah kembali terangsang, Somad segera melepaskan celana kolornya, dan penisnya yang hitam legampun mengegang keras siap untuk dihujamkan ke dalam vagina Bella. Somad kemudian mengatur posisi kaki Bella supaya mengangkang lebar membuat vaginanya yang sudah basah itu membuka lalu Maan mngatur posisi tubuhnya tepat di depan celah kemaluan itu. Kemudian dengan gerakan pelan Somad menggesek-gesekkan ujung kemaluannya di bibir vagina Bella, hal itu membuat Bella mengerang lirih. Somad kemudian mendorong pantatnya maju dengan gerakan pelan, membuat penisnya sdikit demi sedikit mendesak masuk ke dalam liang vagina Bella. Bella merasakan vaginanya seperti melebar ketika menerima penis Somad yang lebih besar dari penis Parjo, membuatnya meringis kesakitan.“Ahhh… sakiiitt.. sakit Pak…” Bella merintih lirih. Air matanya kembali meleleh, dia berusaha melebarkan kakinya agar vaginanya bisa menanpung penis Somad.“Sakit ya Neng..? Bentar lagi juga enak.. tahan ya Neng..” Somad berujar santai sambil menindih tubuh mulus Bella lalu mendekapnya dengan kedua tangannya yang kekar. Kemudian dengan gerakan pelan Somad menarik penisnya, membuat Bella sedikit bisa bernafas lega. Tapi sedetik kemudian Somad kembali menusukkan penisnya ke dalam vagina Bella, kali ini dengan sentakan kasar.“Ahhhkk….!!” Bella merintih sambil menggeliat, membuat tubuhnya melengkung dan tulang rusuknya seperti menjiplak di kulitnya. Tanpa sadar Bella mencengkeram punggung Somad dengan kuat membuat goresan kecil dengan kuku-kukunya. Tapi Somad tidak merasakan goresan kecil itu, konsentrasinya sepenuhnya berpusat pada kemaluannya yang sudah bersatu dengan kemaluan Bella. Sensasi luar biasa mengalir ke dalam setiap pembuluh darahnya membuat darahnya seperti menggelegak. Somad lalu mengulangi aksinya, meanirk penisnya pelan dan menghunjamkannya ke dalam vagina Bella dengan kasar. Kembali Bella menjerit lirih menerima perlakuan itu. Somad lalu mengulanginya lagi, membuat Bella kembali menjerit. Dan selama sepuluh menit kemudian yang terdengar di kamar itu adalah jeritan-jeritan lirih Bela ketika vaginanya digenjot oleh Somad dengan kasar. Rupanya jeritan Bella yang sensual itu menjadi sensasi tersendiri yang menambah kenikmatan Somad dalam melakukan persenggamaan dengan Bella.Bella sendiri meskipun merasa tersiksa, tapi mulai bisa menikmati sensasi yang dihasilkan dari persetubuhannya dengan Somad. Pelan-pelan rintihannya berubah dari rintihan kesakitan menjadi rintihan kenikmatan. Bella perlahan juga mulai mengimbangi gerakan-gerakan Somad yang kasar dengan gerakan pinggulnya. Sensasi yang dibuat oleh Somad pada diri Bella membuat Bella tak berkutik lagi, lenguhan dari bibirnya yang mungil makin menjadi-jadi seolah meracau. Karena itu Bella tidak menolak ketika Somad memintanya berganti posisi. Somad yang masih mendekap tubuh Bella yang mulus berguling sehingga sekarang posisinya terbalik, tubuh mulus Bella yang telanjang sekarang berada di atas Somad. Somad lalu meminta Bella untuk menggerakkan pantat sehingga penis Somad yang masih mendekam di dalam vagina Bella kembali terkocok oleh jepitan vaginanya. Bella melakukannya sambil terengah-engah, Somad meresponnya dengan melumat bibir Bella yang megap-megap dengan rakus seolah berusaha menelan bibir itu mentah-mentah. Selama sepuluh menit keduanya berada dalam posisi berdekapan dan saling berpagutan bibir.Masih tidak puas dengan gaya itu, Somad lalu bangkit dalam posisi duduk tanpa melepaskan pelukannya dari tubuh Bella sehingga sekarang keduanya saling menempel dalam posisi duduk di ranjang. Kaki Bella sekarang melingkari pinggul Somad, lalu keduanya bergantian menggerakkan pinggulnya membuat kemaluan mereka yang bersatu kembali terbenam dalam sensasi seksual yang menggebu. Bella mendesah penuh kenikmatan diperlakukan sedemikian rupa. Dan Somad membalas aksi Bella dengan memagut bibirnya kemudian menelusuri leher dan belahan payudara Bella dengan ciuman-ciuman, meninggalkan bekas kemerahan di bagian yang diciuminya.Setelah bebarapa menit Somad kembali kepada posisinya semula, direbahkannya tubuh Bella dan ditindihnya kembali tubuh mulus itu. Somad kemudian menggenjotkan penisnya lagi, kali ini gerakannya teratur, membuat Bella serasa melayang ke angkasa oleh sensasi yang dihasilkan genjotan Somad. Menit demi menit berlalu, Somad masih bersemangat menggenjot Bella. Sementara Bella sendiri sudah mulai kehilangan kendali diri, dia kini sudah tidak terlihat sebagai seseorang yang sedang diperkosa lagi, melainkan nampak hanyut menikmati ulah Somad. Bella merasakan ingin selamanya disetubuhi seperti ini, Bella tanpa sadar memeluk Somad dan memberikan ciuman di mulutnya. Mereka berpagutan sampai Bella mendesis panjang dengan tubuh mengejang, tangannya mencengkeram erat-erat lengan kokoh Somad.“Aaaaaahh…ooooohh !” desah Bella sambil memeluk Somad dengan kuat saat penis Somad melesak ke dalam vaginanya, cairan yang sudah membanjir dari vagina Bella menimbulkan bunyi berdecak setiap kali penis itu menghujam. Suara desahan Bella membuatnya semakin bernafsu sehingga dia meraih payudara Clara dan meremasnya kuat-kuat membuat Bella meringis kesakitan bercampur nikmat. Bella merasa dirinya seperti mau meledak. Tubuhnya bergetar dan kemudian mengejang kuat sekali.“AHHKHHH….. OHHHHH…..” Lolongan kuat meluncur begitu saja dari bibir mungil Bella, untuk kesekian kalinya Bella mengalami orgasme gila-gilaan. Somad akhirnya menyerah, diapun kemudian melepaskan sensasi yang sedari tadi ingin dilepaskannya.“Ahhhhh….. “ Somad melenguh penuh kepuasan saat spermanya menyembur mengisi rahim Bella.“Minggir Mad!” Terdengar suara Pak Hasan dan Parjo, Somad yang masih dikuasasi sensasi orgasme gelagapan, dia menyingkir dan melihat Pak Hasan dan Parjo tiba-tiba naik ke atas ranjang sambil berlutut tepat di atas wajah Bella sambil mengocok penisnya. Lalu.“Crtt…crt…crt….,” sperma kedua orang itu muncrat membasahi wajah Bella. Rupanya selama mereka melihat Bella disetubuhi oleh Somad, mereka kembali naik birahinya dan melakukan onani. Setelah puas menyemprotkan spermanya di wajah Bella mereka terkapar di ranjang dengan nafas terengah-engah. Dibiarkannya Bella ranjang itu, wajahnya tampak sedih dan basah oleh keringat, air mata dan cairan sperma yang sangat banyak melumuri wajahnya, dalam hatinya berkecamuk antara kepuasan yang dialaminya dan rasa benci pada ketiga orang yang baru saja memperkosanya.Selama sehari semalam penuh, ketiga orang itu kembali menikmati kemulusan tubuh Bella dengan berbagai macam cara. Bella dipaksa untuk melakukan oral seks sambil mengocok penis yang lain, lalu dipaksa pula untuk melayani tiga orang sekaligus. Ketiganya melakukan hal itu secara bergantian membuat Bella berkali-kali orgasme. Bella juga dipaksa untuk menari dalam keadaan telanjang bulat, lalu mereka menyuruhnya untuk menjilati penis mereka satu-persatu sambil kemudian menyemprotkan spermanya di wajah dan tubuh Bella. Baru keesokan paginya setelah semalam suntuk menggarap tubuh Bella habis-habisan mereka mengantar Bella pulang ke pondokan sambil disertai ancaman akan melakukan sesuatu yang buruk jika Bella berani buka mulut tentang perlakuan mereka semalam. Sementara Pak Hasan tidak lupa untuk berpesan agar Bella setiap saat siap jika mereka ingin menikmati tubuhnya lagi.

Jumat, 09 April 2010

RANJANG YANG TERNODA #01

SERIAL: RANJANG YANG TERNODA

BAGIAN SATU
PARA ISTRI & PRIA TUA
© Pujangga Binal & Friends

“Dasar tua bangka bejat!” maki Lidya Safitri saat Pak Bejo pergi meninggalkan rumah.

Alya Arumsari terkejut dan melotot ke arah adiknya dengan pandangan marah. “Heh! Ngawur! Jangan keras-keras! Mengatai-ngatai orang kok seenaknya sendiri! Kalau dia denger gimana coba?”

Pak Bejo Suharso adalah seorang tetangga yang baik, gemar membantu orang lain dan sangat ramah walaupun hidup mereka sedikit kekurangan. Ia dan istrinya, Bu Bejo, adalah tetangga dekat keluarga Alya. Sejak kepindahan mereka ke kawasan pemukiman ini Pak Bejo dan istrinya amatlah sering memberikan bantuan. Bahkan ketika Alya atau suaminya sibuk, Pak Bejo dan istrinya sering menjaga Opi, putri mungil mereka. Lidya adalah adik Alya yang semalam kebetulan menginap di rumah Alya. Lidya sudah mulai tidak suka dengan Pak Bejo sejak pertama kali bertemu dengannya.

“Habis dia nggak tau diri sih, Mbak,” jawab Lidya. “Waktu Mbak Alya membungkuk mau mengambil mainannya Opi yang jatuh, matanya jelalatan, ngeliatin ke belahan dada Mbak Alya, lalu menjilat bibirnya dengan mesum. Itu kan nggak sopan namanya!” Lidya berhenti sebentar, lalu melanjutkan sambil menatap kakaknya yang molek dengan pandangan serius. “Jangan-jangan Pak Bejo pengen tidur sama Mbak Alya?”

Seketika Alyapun tertawa, Lidya ikut-ikutan tertawa. Alya tidak membela Pak Bejo, tapi berjanji dalam hati di lain kesempatan akan lebih hati-hati saat tetangganya itu datang berkunjung. Lidya juga tidak bisa menyalahkan Pak Bejo, jangankan dia, semua orang yang normal pasti mau tidur dengan Alya. Kakak Lidya itu memiliki tubuh yang seksi seperti bidadari dan memiliki kecantikan luar dalam. Ditambah perilaku yang sangat lembut dan ramah, makin lengkaplah kesempurnaan Alya. Rambut panjang indah sebahu, tubuh ramping yang jauh lebih indah lekukannya daripada sirkuit sentul, kulit putih mulus dan buah dada yang luar biasa ranum menggiurkan meskipun sudah beranak satu. Ya, semua orang pasti punya pandangan mesum pada kakaknya itu.

Tapi Lidya sendiri juga sangat cantik. Tubuhnya juga tidak kalah indah, walaupun kalau dibanding Alya yang memiliki ukuran BH 36, Lidya hanya 34C. Kecantikan keluarga mereka memang sudah terkenal. Kadang banyak laki-laki kampung sekitar berkumpul di depan rumah keluarga Alya kalau Dina, Alya dan Lidya sudah berkumpul.

###

Dina Febrianti sedang resah menghitung tagihan bulanan yang bertebaran di atas mejanya. Wanita cantik berusia 32 tahun yang masih terlihat seperti remaja belasan tahun itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan membolak-balik kertas berisi angka-angka. Tagihan listrik, telepon, air, credit card, cicilan motor, cicilan mobil, pembayaran kredit kontrak rumah dan cicilan kredit biaya rumah sakit mertua. Jumlah terhutang sangatlah besar, dan tiap bulannya seakan jumlah itu selalu bertambah besar karena bunga yang ditanggung juga meningkat.

Karena stress, Dina menarik nafas panjang, menyisihkan surat-surat tagihan dan mengambil sebuah amplop besar berwarna coklat yang berisi tagihan kredit pinjaman pembangunan rumah. Anton dan Dina tengah membangun sebuah rumah di kawasan pinggir kota karena sudah bosan selama ini mengontrak terus. Sayangnya, rumah yang sedang mereka bangun menurut Dina terlalu besar dan mewah untuk ukuran mereka. Dina sering membujuk Anton agar berhemat karena dia tahu untuk membangun rumah seperti yang diinginkan Anton akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan seandainya mereka mengambil kredit, maka biaya berikut bunganya akan sangat besar. Anton hanya tertawa dan mengatakan istrinya terlalu banyak khawatir. Saat menyesuaikan keuangan rumah tangga dan tagihan hari ini, Dina merasa kekhawatirannya menjadi kenyataan.

Untungnya jumlah uang yang mereka kumpulkan bulan ini cukup untuk membayar semua tagihan, Dina menarik nafas lega. Paling tidak mereka bertahan sampai bulan depan. Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih hati-hati dalam hal keuangan. Dia berniat memaksa Anton untuk lebih bijaksana. Paling tidak mereka bisa memotong anggaran untuk credit card dan kembali ke pembayaran cash. Bunga yang ditarik oleh bank untuk credit card sangatlah besar dan membuat mereka mengalami defisit. Sayangnya permintaan Dina selalu ditampik oleh Anton.

“Biarlah yang terjadi esok hari, terjadi esok hari. Yang penting kita hari ini bisa bertahan.” Kata Anton setiap kali Dina mengajukan usulan. Seandainya Dina sadar kalau kata-kata Anton itu bagaikan ramalan, dia seharusnya lebih cemas lagi.

Kalau mengesampingkan kesulitan finansial yang dialami keluarganya, kehidupan Dina sangatlah sempurna. Dia amat mencintai Anton dan suaminya itu memang memiliki gaji yang lumayan untuk menghidupi keluarga. Bersama kedua putranya yang masih kecil, ibu muda yang cantik ini memiliki segala yang mereka inginkan. Hanya sayangnya, mereka tidak punya tabungan di bank seandainya sewaktu-waktu diperlukan pengeluaran mendadak.

Dina tersenyum saat teringat pada kedua anak kebanggaannya. Dani, putranya yang paling besar sudah kelas 5 SD, sedangkan Dion baru masuk ke kelas 1 SD. Mengingat kebutuhan mereka yang semakin besar, senyum Dina memudar. Alat tulis, buku dan seragam makin hari makin mahal. Belum lagi si Dani sudah waktunya disunat, tentu biaya yang dibutuhkan akan sangat besar kalau mereka mengadakan syukuran.

Dina mencari amplop berisi uang belanja bulanan yang biasa diberikan Anton. Begitu menemukannya, Dina langsung menghitung uang yang diberikan Anton bulan ini. Betapa kagetnya Dina begitu tahu jumlah pemberian uang belanja bulan ini sangat sedikit. Tidak akan mencukupi kebutuhan rumah tangga selama sebulan! Dina tidak meminta uang belanja yang berjuta-juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah bersyukur. Tapi jumlah uang yang mepet itu ternyata masih dipotong lagi oleh Anton. Dina memutuskan untuk menelepon suaminya. Ibu rumah tangga yang kebingungan itu segera memencet nomor HP Anton.

Sayangnya HP Anton tidak aktif. Dina menelepon ke kantor. Menurut Desi sekretaris Anton, suami Dina itu sudah meninggalkan ruangannya.

Dina meletakkan gagang telepon dengan terheran-heran. “Kemana lagi dia? Bukannya pulang malah keluyuran?”

Tanpa sepengetahuan Dina, Anton memiliki penghasilan lain yang tidak halal. Sudah bertahun-tahun Anton membohongi Dina. Anton adalah seorang pemain judi. Bahkan saat ini pun dia sedang berada di arena taruhan. Suami Dina itu sedang menyobek-nyobek kupon taruhannya karena lagi-lagi kalah memasang nomor. Perhitungannya meleset jauh padahal jumlah uang yang dijadikan taruhan tidak sedikit.

Saat Anton pulang ke rumah dan ambruk di ranjang, dia beruntung Dina tidak sedang dalam kondisi bad mood. Dina segera menanyakan perihal jumlah uang belanjanya yang berkurang, senyum Anton yang menawan membuat hati si cantik itu luluh. Dina sangat mencintai suaminya dan dia tahu Anton juga memujanya. Memangnya kenapa kalau suaminya itu sedikit boros? Uang belanja adalah uang Anton juga, sehingga kalau dia memang memerlukannya, tidak ada salahnya Dina rela. Apalagi Anton sudah memberikan banyak hal untuk Dina dan anak-anaknya. Anton sudah membuai mereka dengan harta benda.

“Shhh, anak-anak belum tidur. Jangan ribut,” Bisik Dina pada suaminya yang tiba-tiba saja ‘menyerangnya’.

“Oh, masa aku nggak boleh ngent*tin istriku sendiri?”

“Anton Hartono! Bahasanya kok jorok gitu? Kampungan!”

“Hm, kalau tahu aku dulu akan menikahi perempuan lugu, aku pasti protes keras pada almarhum Bapak dan Ibumu,” canda Anton. “Mereka membesarkan seorang anak perempuan yang cantik jelita namun sangat naif.”

“Tidak lucu. Aku bukan perempuan lugu.”

Anton mengamati istrinya – rambutnya dipotong ala Dian Sastrowardoyo presenter acara kuis berhadiah 3 Milyar rupiah, matanya indah dengan bulu mata yang lentik, pipinya halus mulus tanpa bercak ataupun jerawat, kulitnya putih mulus bagai susu, buah dadanya masih membusung kencang dan tidak melorot, pinggang langsing, pinggul sempurna di atas pantat yang bulat merangsang dan kaki jenjang yang sangat menawan. Dulu pernah sekali waktu, seorang agen iklan meminta Dina menjadi model iklan sabun mandi terkenal, namun Dina menolaknya. Anton mengagumi keindahan istrinya yang hampir sempurna. Tangan-tangannya yang nakal menjelajahi perut Dina. Masih seperti perut seorang gadis remaja, walaupun kenyataannya Dina sudah melahirkan dua orang anak.

“Baiklah, kalau begitu wanita konservatif,”

“Maksudnya?” Dina mulai gusar.

Anton menyesal memulai percakapan ini. Dina sangat lugu dan naif dalam hal bercinta dan berpenampilan. Pakaian yang dikenakan istrinya selalu sopan dan tidak pernah menonjolkan kemolekan tubuhnya. Dina juga bukan seorang petualang di ranjang. Dia pemain seks yang konservatif dan monoton. Berciuman, saling menggesek dan bercinta dengan posisi missionary. Selalu begitu. Sekali dua kali, Anton bisa melakukan doggie style, tapi istri Anton itu tidak pernah mengijinkan sang suami menyentuh anusnya dalam kondisi apapun. Walaupun Dina pernah mengatakan kalau doggie style itu juga merendahkan diri sama seperti binatang, namun dalam kondisi ‘panas’ Dina biasanya menyerah pada keinginan suaminya.

Di awal pernikahan mereka, Anton pernah mencoba melakukan oral seks pada organ kemaluan Dina, tapi istrinya itu langsung menjerit dan melonjak-lonjak marah. Dia langsung menghardik Anton dan mengatakan kalau kemaluan mereka kotor. Dina tidak pernah mengerti kenapa Anton ingin menjilati bibir kemaluannya yang merupakan sumber penyakit. Sebaliknya pun begitu. Suatu ketika sesaat setelah Anton meminta Dina mengulum penisnya, istrinya itu langsung mengunci diri di dalam kamar mandi dan tidak mau keluar selama dua jam. Anton tidak pernah meminta posisi yang aneh-aneh lagi.

“Jadi? Ayo katakan saja! Kenapa aku ini wanita konservatif?”, lanjut Dina. “Apa karena aku ini bukan wanita murahan? Bukan pelacur?”

“Sudahlah. Lupakan saja.”

“Tidak mau. Kau yang memulai percakapan ini, jadi aku ingin mendengar lanjutannya.”

“Yah, kamu kan memang tidak ingin mencoba hal-hal baru saat bercinta denganku?”

“Aku melakukan apa yang menjadi tugasku,” kata Dina penuh emosi. “Aku seorang istri yang baik, setia, penurut dan telah memberimu dua orang anak!”

“Maafkan aku, sayang. Kamu benar,” Anton mengalah. Dia berusaha mengembalikan mood sang istri yang nampaknya mulai naik pitam.

“Aku sedang tidak ingin melakukannya,” kata Dina sambil melepaskan tangan Anton yang meremas payudaranya. Dina mematikan lampu dan menarik selimut.

Anton memahami nada suara istrinya yang tinggi dan memiringkan badan untuk mengecup bibir Dina. Setelah mencium bibir Anton, Dina membalikkan badan dan memunggunginya. Si cantik itu segera terlelap. Anton bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

Entah kenapa, setelah 12 tahun menikah dan hapal dengan sifat-sifat Dina, dia dengan tololnya memutuskan untuk membicarakan hal yang menyinggung perasaan istrinya. ‘Dasar sial’ batin Anton. Suami Dina itu terpaksa colai di kamar mandi untuk melepas hasrat birahinya malam itu.

###

Pak Bejo Suharso yang pensiunan PNS bertubuh gemuk, dengan kulit hitam kecoklatan terbakar matahari dan berusia enam puluh dua tahun. Wajahnya sudah dipenuhi keriput, matanya kemerahan dan rambutnya yang ikal mulai membotak. Wajahnya bukan wajah seorang pria tua yang simpatik, bahkan cenderung buruk rupa. Walaupun bukan orang berada dan hidup serba kekurangan, Pak Bejo dikenal lumayan akrab dengan penghuni sekitar sehingga sering dimintai bantuan dan punya banyak kawan di kampungnya.

Tapi di balik penampilannya pada Alya sekeluarga, Pak Bejo sebetulnya adalah seorang preman yang sering judi, jajan PSK, mabuk-mabukan dengan anak-anak muda dan berkelahi dengan orang yang tidak disukainya. Satu lagi kejelekan Pak Bejo, orang ini sangat mesum.

Pak Bejo dan istrinya hampir tiap hari berkunjung ke rumah keluarga Hendra dan Alya. Biasanya Bu Bejo akan merawat Opi yang masih kecil setiap kali Hendra dan istrinya pergi bekerja. Pak Bejo dan istrinya memang suka dengan anak kecil apalagi yang selucu dan secantik Opi, tapi Pak Bejo lebih suka dengan ibunya yang luar biasa manis dan seksi.

Alya yang masih muda dan jelita adalah wanita impian Pak Bejo. Sejak pindah ke kampung ini, Pak Bejo tak pernah melewatkan mengamati ibu muda yang segar itu. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang seksi, baunya yang harum, kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, rambutnya hitamnya yang panjang sebahu, buah dadanya yang montok dan membusung, pantatnya yang bulat, semuanya Pak Bejo suka. Sejak Bu Bejo dipercaya dan sering dipanggil sebagai babysitter keluarga Hendra, Pak Bejo bisa memuaskan dahaga nafsunya dengan mencuri-curi pandang ke arah semua titik lekuk keindahan tubuh Alya.

‘Si Alya memang benar-benar dahsyat.’ Kata Pak Bejo dalam hati, “Coba lihat aja bibirnya. Uahahhh, pokoke maknyuuuss. Kalo dipake buat nyepong, baru nempel aja paling aku udah keluar.”

Hari ini dia lebih beruntung lagi, karena tadi pagi sempat mencuri celana dalam Alya yang belum dicuci. Dia sempat mencium bau harum belahan selangkangan Alya dari celana dalam bekas pakainya itu. Setelah istrinya tidur, malam ini Pak Bejo beringsut ke kamar mandi dengan sembunyi-sembunyi sambil membawa celana dalam Alya. Buat apa lagi kalau bukan buat colai? Ia segera bermasturbasi dengan membayangkan wajah Alya dan mimpi bercinta dengan istri Hendra itu dari segala macam posisi. Pak Bejo merem melek dan mendengus-dengus penuh nafsu.

‘Wah,’ pikirnya. ‘Kalau cuma begini terus, bisa rusak kont*l ini aku betot. Gimana yah caranya bisa ngent*tin si Alya yang semlohay itu? Aku musti cari cara buat bisa masukin kont*l ini ke mem*knya!’

Setelah orgasme dan melepaskan air mani ke lantai kamar mandi, Pak Bejo kembali ke teras dan kongkow-kongkow. Dia masih mengatur strategi untuk melaksanakan pikiran kotornya. Suatu saat, teringatlah Pak Bejo pada adik Alya yang juga sangat cantik dan seksi yang bernama Lidya.

‘Si molek itu kayaknya curiga sama aku. Suatu saat nanti aku harus memberi dia pelajaran di tempat tidur!’ kata Pak Bejo dalam hati. ‘Yang mana yah enaknya? Alya atau Lidya yang sebaiknya aku entotin duluan? Wah wah, satu keluarga kok semlohay semua. Belum lagi kakaknya yang paling gede, siapa itu namanya… Dina Febrianti? Wah… teteknya oke banget… ah ah… Dina, Alya atau Lidya?’

Pak Bejo lantas membuka folder-folder gambar di dalam HPnya. Di dalamnya terdapat tiga foto yang sangat dia sukai. Semuanya seronok dan diambil tanpa sepengetahuan sang target. Gambar Dina saat mengenakan kaos ketat yang memperlihatkan kemolekan buah dadanya, gambar belahan dada Alya saat pujaan Pak Bejo itu membungkuk dan gambar paha mulus Lidya. Dina sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari rumah Alya, berbeda gang tapi masih dalam satu komplek. Bersama suaminya, Anton, Dina memiliki dua orang anak yang sekarang sudah bersekolah di SD terdekat. Sedangkan Lidya adalah penganten baru yang tinggal di sebuah rumah agak jauh di pinggiran kota. Karena sering tugas keluar kota, maka Andi suami Lidya sering menitipkan istrinya ke rumah Alya.

Kedua orang tua kakak beradik Dina, Alya dan Lidya sudah meninggal dunia karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu.

Sambil menikmati gambar ketiga kakak beradik yang seksi itu, Pak Bejo Suharso terus melamun hingga larut malam sambil menggaruk-garuk selangkangannya yang makin gatal.

###

Alya sudah bekerja keras sepanjang hari Minggu ini dan dia kelelahan. Ibu rumah tangga muda yang cantik itu sudah mencuci baju, memasak, membersihkan rumah, memandikan Opi dan menidurkannya. Apalagi hari ini Alya harus melayani kunjungan ibu mertuanya yang baru pulang sore hari sementara Bu Bejo sedang mengunjungi relasi sehingga tidak bisa datang. Akhirnya Alya bisa beristirahat dengan tenang malam itu.

Setelah mandi dengan shower, keramas dan mengenakan piyama, Alya merebahkan diri di tempat tidur. Sayangnya, Hendra punya pikiran lain dan mulai bergerak mendekati istrinya yang tidur membelakanginya. Hendra memeluk Alya dari belakang, menepikan rambut dan menciumi lehernya yang putih.

“Jangan sekarang ah, Mas Hendra,” kata Alya manja. “Aku capek banget.”

Hendra tidak menjawab. Suami Alya itu terus menciumi lehernya dan meletakkan tangannya di payudara kiri Alya. Hendra meremas susu Alya perlahan dan menjilati daun telinganya, sementara tubuhnya kian mendekat dan akhirnya Hendra menempelkan alat vitalnya di belahan pantat Alya yang montok.

“Mas…” Alya menggeliat dan mencoba mendorong suaminya menjauh. Tidak enak juga rasanya menolak melayani suami seperti ini, karena biar bagaimanapun Alya sangat mencintai Hendra dan ingin melayaninya sampai puas. Sayangnya, Hendra sering memilih waktu yang tidak tepat saat meminta jatah.

“Ayolah, sayang,” kata Hendra sambil mencopoti kancing baju piyama yag dikenakan Alya. “Aku pengen.”

“Aku capek, Mas,” jawab Alya. Tapi karena Hendra terus merangsang payudaranya, Alya akhirnya mengalah. Akan lebih baik kalau dia menyerah dan pasrah pada kemauan sang suami.

Alya berhenti menolak dan mulai rileks saat Hendra selesai melepaskan semua kancing baju piyama yang dikenakannya. Telanjang dari perut ke atas, Hendra segera menyerang kedua payudara Alya yang ranum dan indah. Hendra memijat buah dada Alya dengan kedua belah telapak tangannya. Suami Alya itu lalu mengelus-elus susu Alya dan menciumi sisi-sisinya. Hendra hanya sekilas mencium puting susu Alya (tidak cukup lama untuk membuatnya mengeras), lalu bangkit dan berlutut. Ia meraih bagian atas celana piyama yang dipakai Alya dan mencoba menariknya. Alya dengan desahan panjang mengangkat pantatnya ke atas supaya celananya mudah ditarik.

Hendra melucuti celana panjang piyama Alya dan melakukan hal serupa dengan celana dalam istrinya. Kini Alya sudah telanjang bulat di depan suaminya.

“Seksi banget, sayang. Sudah lebih dari lima tahun kita menikah, tapi bentuk tubuhmu masih jauh lebih indah dari gadis manapun. Masih seksi, masih mulus dan hmm… tidak, aku salah. Tubuhmu jauh lebih seksi, lebih mulus dan lebih aduhai dari siapapun.” Kata Hendra memuji keindahan tubuh istrinya. Alya tersenyum, paling tidak dia masih mendapatkan pujian dari suaminya.

“Ini semua untuk kamu, Mas.” Kata Alya mesra.

Hendra ambruk di atas tubuh Alya dan istrinya itu otomatis merenggangkan kakinya yang jenjang. Alya mengaitkan kakinya diantara pinggang Hendra dan menjepitnya lembut. Beberapa saat kemudian, Alya merasakan ujung kemaluan Hendra mulai menyentuh ujung vagina Alya. Wanita cantik itu menarik nafas panjang. Hendra mungkin bukan orang paling romantis di dunia, tapi penisnya lumayan besar, dan itu biasanya mampu mengagetkan dan memuaskan Alya.

Alya menahan nafas sementara Hendra melesakkan penisnya ke dalam vagina istrinya dengan sangat perlahan. Setelah seluruh batang kemaluan Hendra masuk ke dalam mulut rahimnya, Alya melepas nafas. Hendra mulai menyetubuhi Alya dengan gerakan pelan dan lembut. Gerakan Hendra yang ajeg dibarengi dengan erangan dan lenguhan kenikmatan. Alya merintih pelan dan manja, untuk memberikan kesan dia menikmati permainan cinta yang diberikan suaminya. Padahal dalam hati Alya sama sekali tidak puas.

Sebenarnya permainan Hendra tidaklah terlampau buruk, tidak pula singkat, kadang Alya juga terpuaskan perlahan-lahan, tapi permainan Hendra tidak mampu melejitkan Alya ke puncak kepuasan yang optimal. Alya mencoba mengimbangi gerakan memilin suaminya dengan gerakan pinggulnya, mencoba menyamakan ritme dengan gerakan mendorong yang dilakukan Hendra, tapi lagi-lagi Alya harus berpura-pura karena tak berapa lama kemudian Hendra sudah orgasme. Alya tersenyum dan mencium suaminya lembut. Hendra menyentakkan penisnya dalam vagina Alya untuk kali terakhir sementara air maninya membanjiri liang kemaluan sang istri.

Setelah semuanya usai, Hendra bergulir dari atas tubuh Alya dan memejamkan matanya penuh kepuasan. Alya bangkit dari ranjang, membersihkan diri sebentar dan kembali ke tempat tidur sambil memeluk suaminya yang sudah tertidur lelap penuh rasa cinta.

Sementara itu, di luar sepengetahuan Alya dan Hendra, sesosok tubuh gemuk berhenti merekam adegan persetubuhan mereka. Sosok itu sedari tadi bersembunyi di luar jendela kamar Alya. Entah bagaimana, sosok itu bisa menemukan celah di antara tirai, mengintip ke dalam kamar lalu merekam adegan seks mereka dengan kamera HP.

Sosok itu melangkah puas sambil terkekeh-kekeh pulang ke rumah. Sosok Pak Bejo Suharso!

###

Dina duduk di kamar santai dan menyalakan televisi. Tapi ibu muda yang cantik itu tidak menonton tayangan sinetron di televisi. Dina terus memijat-mijat tangannya dengan gelisah di pangkuan dan bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh Pak Pramono, bos kerja Anton. Pak Pramono telepon tadi pagi dan bertanya apakah dia boleh datang berkunjung. Pak Pramono mengatakan ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Anehnya, saat ini Anton justru tengah dinas keluar kota. Apa yang ingin disampaikan Pak Pramono padanya? Dina selalu merasa rikuh saat berhadapan dengan Pak Pramono.

Walaupun sudah tua, tapi pria yang rambutnya sudah beruban semua itu sangat besar dan masih terlihat gagah. Kulitnya yang hitam dan kumisnya yang lebat menambah sangar penampilan Pak Pramono. Dia lebih mirip seorang perwira militer ketimbang bos perusahaan IT. Dina bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh Pak Pramono saat kemudian bel pintu berbunyi.

Dina buru-buru membukakan pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. Dia mengantarkan sang tamu ke ruang duduk di mana mereka berdua akhirnya berhadapan. Dina merasa sedikit grogi berbincang-bincang dengan pimpinan suaminya. Sangat jarang pimpinan Anton berkunjung kemari, bahkan bisa dibilang ini baru pertama kalinya mereka berdua berhadapan langsung.

“Bagaimana kabar anda?” tanya Pak Pramono memulai percakapan.

Dina cukup terkejut dengan pertanyaan sopan ini. Pak Pramono bukan orang yang suka berbasa-basi dan wajahnya cenderung menyeramkan. Satu-satunya pertemuan empat mata antara Dina dan Pak Pramono berlangsung di sebuah pesta perusahaan. Saat itu Pak Pramono bahkan tidak tersenyum pada siapapun. Sebaliknya Bu Pramono adalah seorang istri yang sangat ramah. Dina memutuskan untuk tidak memasang wajah kaku dan berlaku santai. Dia duduk dengan tenang.

“Baik, terima kasih. Bagaimana kabar anda sendiri, dan Bu Pramono, sehat-sehat saja kan?” Dina menjawab ramah.

“Baik. Baik. Ibu juga baik baik saja. Semua sehat.”

Dina melihat wajah Pak Pramono mengeras, sehingga perasaan tegang kembali menyelimutinya. “Pasti Bu Anton bertanya-tanya kenapa saya ingin menemui ibu?”

“Betul Pak, saya cukup terkejut dengan telpon dari anda… apalagi saat ini Mas Anton sedang keluar kota dan…”

“Akan lebih baik kalau dia tidak ada di sini. Saya ingin berbincang-bincang soal serius pada Bu Anton perihal bapak.”

“Tentang suami saya? Apa ada masalah di tempat kerja?

“Pertama, apakah ibu tahu soal kebiasaan Pak Anton berjudi?”

Dina terkejut dan hampir pingsan, tapi setelah beberapa saat berdiam, dia mencoba menguasai dirinya sendiri dan menjawab. “Mas Anton tidak pernah berjudi, tidak tepat kalau disebut ‘kebiasaan’, Pak Pramono.”

Pak Pramono membuka tas kerjanya dan mengambil secarik amplop manila. Dia membukanya dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari dalamnya. Memisahkan sebagian dan mengambil beberapa lagi. Dia lalu menunjukkannya kepada Dina. Kertas-kertas itu adalah foto. Dina duduk terdiam. Dia hampir pingsan.

“Ini buktinya,” kata Pak Pramono tenang.

Dalam foto-foto itu tergambar kegiatan Anton saat dia sedang di meja judi. Entah itu saat bermain kartu atau berbagai jenis kegiatan judi lain. Ada foto-foto saat Anton sedang memasang nomor taruhan, ada foto saat Anton merobek nomernya yang kalah dengan kesal dan ada foto Anton saat dia sedang minum bir bersama beberapa bandar.

“Darimana anda mendapatkan foto-foto ini?” tanya Dina kebingungan.

“Itu tidak penting. Jadi patut diketahui oleh ibu, kalau kami selalu melakukan penyelidikan mendetail pada seluruh karyawan, termasuk Pak Anton. Dalam kasus ini, kami memang mencurigai beliau.”

“Mencurigai! Kenapa?”

“Saya baru hendak menyampaikan alasannya. Auditor kami menemukan catatan sejumlah besar dana yang telah diselewengkan oleh seorang karyawan. Hal itu membuat kami harus memulai langkah penyelidikan. Setelah langkah-langkah diambil, semua bukti yang ada mengarah pada Pak Anton, suami ibu. Kami menghubungi pihak yang berwajib dan mereka mengirim beberapa intel untuk, mm, mematai-matainya.”

“Ini pasti kesalahan besar. Anton tidak mungkin mencuri. Dia tidak pernah berjudi!” Dina mulai gusar, matanya mulai basah.

“Tentunya, seperti yang terbukti dari foto-foto ini, suami ibu jelas-jelas berjudi.” Pak Pramono mengeluarkan beberapa foto lagi dari amplop manilanya. “Bahkan kami punya bukti kalau Pak Anton juga telah melakukan korupsi dan menggelapkan uang perusahaan untuk kegemarannya itu.”

Dina yang shock duduk dengan mulut terbuka lebar karena terheran-heran. Ruang tamunya seakan berputar dan perlahan menjadi gelap. Dina pingsan.

###

“Alya.”
“Iya Mas?”
“Dasiku yang biru kamu simpan dimana? Aku kok tidak bisa menemukannya dimana-mana?”
“Ada kok, di dalam lemari.”

Hendra selalu berharap Alya akan menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke kantor. Ketika mereka menikah beberapa tahun yang lalu, Alya sanggup melayani Hendra. Tapi kini, sebagai seorang wanita yang juga bekerja dengan seorang anak yang masih kecil, kesibukan pagi Alya sangatlah padat. Bangun pagi, menyiapkan makan, membangunkan Opi, menghidangkan sarapan… terus berlanjut sampai Hendra berangkat kerja, Opi diasuh Bu Bejo dan Alya sendiri berangkat bekerja.

Saat Bu Bejo tidak datang, kehidupan Alya jauh lebih hiruk pikuk. Untungnya suami istri Pak dan Bu Bejo gemar menolong dan mereka selalu datang untuk membantu. Bu Bejo tidak pernah menolak membantu dalam hal apapun juga, hubungan kedua tetangga inipun terjalin erat. Hendra dan Alya sering memberi uang lebih pada Pak Bejo dan istrinya sebagai balas jasa.

Sayangnya Alya kemudian mengetahui kehidupan gelap Pak Bejo Suharso. Pak Bejo adalah seorang suami yang pemabuk dan sering memukuli Bu Bejo dengan kasar. Tanpa alasan yang jelas (kemungkinan besar karena kalah judi), Pak Bejo bisa menghajar Bu Bejo sampai bengkak dan biru. Biasanya kalau sudah begitu, hanya Pak Bejolah yang datang ke rumah Hendra selama beberapa hari. Alya mengasihani Bu Bejo, kenapa dia masih tetap bertahan sebagai istri Pak Bejo? Mungkin kondisi ekonomi membuat kehidupan Pak Bejo menjadi keras, tapi itu bukan alasan untuk menganiaya istrinya sendiri.

Seandainya Hendra yang berlaku demikian, maka Alya akan minta cerai dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Bukanlah penganiayaan fisik yang membuat Alya marah, tapi penghinaan berlebih terhadap kaum wanita yang membuatnya tersinggung. Alya hanya tertawa saat membayangkan Hendra menjadi seorang penganiaya istri, tidak mungkin terjadi. Mereka sudah pacaran sejak SMU dan Hendra adalah orang terbaik yang pernah ia kenal.

Suatu ketika Alya pernah menanyakan perihal alasan Bu Bejo bertahan, Bu RT itu hanya tertawa penuh kesabaran. “Kamu belum tahu apa-apa, nDuk. Mbak Alya belum mengerti apa-apa.”

Tapi, Bu Bejo berjanji, setiap kali Pak Bejo berlaku kasar, dia akan lari minta perlindungan pada Alya sekeluarga dan berusaha menyadarkan suaminya dari tindakan yang semena-mena itu. Hari ini Bu Bejo belum menampakkan batang hidungnya, dan Alyapun bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

“Opi, ayo habiskan makannya.” Kata Alya memperingatkan putrinya.

Putri kecil Alya punya kebiasaan buruk menghambur-hamburkan sarapan. Toh walaupun sudah masuk kelas 0 kecil, Opi masih seorang anak kecil. Alya melirik ke arah jam di dinding. Jam tujuh tiga puluh.

“Sayang, aku pergi dulu. Mungkin pulang agak telat hari ini. Ada meeting nanti sore dengan pemegang saham.” Kata Hendra sambil mencium pipi sang istri.

Melangkah keluar dari dapur, Alya dan Hendra mengangkat Opi dari meja makan. Kalau Bu Bejo tidak datang, Hendralah yang mengantarnya ke TK. Kalau sudah begitu, biasanya Opi dititipkan pada neneknya yang kebetulan tinggal di dekat TK dan juga bersedia menampung Opi. Hendra atau Alya akan menjemput Opi nanti sore sepulang kerja.

Alya merasa pusing hari ini, sehingga dia memutuskan untuk absen kerja. Setelah menelpon kantor untuk minta ijin, Alya juga menelpon mertuanya untuk menitipkan Opi. Saat melintas di depan kaca, tidak sengaja Alya memperhatikan tubuhnya sendiri. Sangat susah mempertahankan badan agar tetap langsing bagi sebagian orang. Tapi bagi Alya, dia bagai dikaruniai sebuah tubuh indah yang sangat sempurna. Alya merapikan rambut sebahunya yang agak kusut.

“Kamu memang seksi banget, sayang. Kalau jalan-jalan di mall, pasti banyak cowok pengen menggodamu.” Kata Hendra. Dia selalu memuji istrinya. Memang bukan hal aneh kalau Alya sering digoda cowok dimanapun dia berada karena sangat cantik dan seksi. Tapi Alya adalah seorang istri yang setia dan punya martabat yang ia junjung tinggi.

“Mama, Opi pegi dulu.” Kata si kecil sambil mencium pipi sang bunda.
“Iya. Ati-ati ya sayang.” Alya mengecup dahi Opi.
“Aku pergi dulu, say.” Hendra pamit sambil menggandeng Opi.

Alya melambaikan tangan pada mereka berdua.

Alya ambruk ke atas ranjang setelah Hendra dan Opi pergi. Pengaruh obat yang dia minum setelah sarapan tadi membuatnya sangat mengantuk. Ibu rumah tangga yang jelita itu tertidur selama hampir dua jam sebelum terbangun dan memutuskan untuk bersantai-santai sambil membaca tabloid. Alya bertanya-tanya kemanakah Bu Bejo hari ini.

###

Saat kemudian terbangun, Dina sedang berbaring di sofa dan Pak Pramono duduk di sampingnya.

“Anda ingin saya ambilkan segelas air?” tanya Pak Pramono.

“Apa yang terjadi? Ya Tuhan, saya ingat. Tidak mungkin. Anton tidak akan melakukan itu semua. Apa yang akan anda lakukan?”

“Itulah sebabnya hari ini saya memutuskan kemari dan menemui Mbak Dina. Saya punya penawaran.” Kata Pak Pramono.

“Penawaran? Untuk saya? Apa yang bisa saya lakukan?”

Pak Pramono tersenyum nakal. “Begini, Bu Anton, atau boleh saya panggil Mbak Dina saja supaya akrab? Anda terlalu muda dan cantik untuk dipanggil ibu.”

Dina mengangguk.

“Baiklah, Mbak Dina. Anda bisa membantu suami, dalam hal ini Mas Anton, dan juga seluruh keluarga Mbak Dina. Saya punya bukti-bukti kuat yang akan menggiring Pak Anton ke penjara untuk jangka waktu yang sangat lama. Saat melakukan penyelidikan, kami juga menerima berkas-berkas laporan keuangan dan bon tagihan bulanan keluarga anda.”

Dina sudah siap memprotes, tapi kemudian terdiam dan membiarkan Pak Pramono meneruskan keterangannya.

“Memang apa yang saya lakukan bersama tim terdengar ilegal, tapi saya bersumpah apa yang kami lakukan sah sesuai hukum. Saya memberitahu anda saat ini karena ingin anda mengerti posisi kami. Dari apa yang kami dapatkan, kami menemukan bukti bahwa keluarga anda telah berfoya-foya dengan membeli berbagai peralatan elektronik dan…”

“Berfoya-foya? Kami tidak minta apa-apa! Itu semua Mas Anton yang membelikan!” teriak Dina panik.

“Kami minta maaf, tapi saya tetap pada pernyataan saya. Suami anda menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seiring dengan kegiatan judi yang dia lakukan dan banyaknya hutang yang dia tanggung dari kegiatannya itu, saya rasa anda tidak sanggup mengeluarkan lebih banyak lagi dana dari anggaran belanja anda. Pak Anton harus kehilangan pekerjaan dan mendekam di penjara.”

“Ya Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kalau anda melakukan itu?! Kami akan kehilangan rumah! Anak-anak! Apa yang terjadi pada mereka? Sekolah dan lain-lain!”

“Benar sekali. Itu sebabnya saya disini. Saya bukan pendendam. Saya memang sangat marah saat tahu Pak Anton telah mencuri uang perusahaan, tapi saya lalu teringat pada Mbak Dina dan… ahh, saya punya penawaran menarik.”

“Apa yang anda maksud… penawaran menarik?”

“Apakah anda berniat membantu Pak Anton mempertahankan pekerjaannya dan menjauhkan suami anda dari jeruji penjara?”

“Tentu saja.”

“Apa yang anda akan lakukan untuk itu?”

“Apa saja.”

Tentunya Dina bermaksud membayar kembali hutang Anton pada perusahaan, bahkan jika dia harus menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci untuk melakukannya.

Dina akan sangat terkejut saat Pak Pramono melanjutkan niatnya.

“Saya sangat lega anda berpendapat demikian, Mbak Dina. Tahu tidak, anda sungguh sangat cantik jelita. Sangat mempesona.”

“Terima kasih. Tapi sebaiknya kita tetap pada pokok permasalahan.”

“Itulah yang sedang saya lakukan. Saya ingin menolong keluarga anda keluar dari kesulitan ini. Dengar baik-baik apa yang hendak saya sampaikan: saya orang yang sangat kaya, jadi saya bisa melupakan uang yang dicuri suami anda dari perusahaan hanya jika… jika anda berlaku ‘baik’ terhadap saya.”

“Pak Pramono, apa saya tidak pernah berbuat baik pada anda? Apa pernah saya berlaku tidak sopan pada anda?”

“Mbak Dina. Anda selalu sopan terhadap saya. Tapi itu bukan ‘kebaikan’ yang saya maksudkan. Apa anda tahu maksud saya?”

“Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak bisa berpikir jernih. Apa yang anda maksud?”

“Baiklah. Saya akan terus terang saja. Kalau kamu ingin aku melupakan kelakuan suamimu dan kerugian yang diderita perusahaan, aku ingin kamu melayaniku. Tidur denganku. Aku ingin menggauli tubuh indahmu.”

Mulut Dina menganga tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat pasi dan dia duduk di kursi dengan menggigil ketakutan. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua kekuatan karena shock, Dina berteriak kencang. “Keluar dari rumahku! Pergi! Orang tua tidak tahu diri!”

Pak Pramono perlahan memindahkan foto-foto yang berada di amplop manila dan meletakkannya di dalam tas kerja. Sengaja dia meletakkan tas itu dengan keras di atas meja sehingga membuat Dina terperanjat. Pak Pramono berdiri, membalikkan badan dan perlahan berjalan ke arah pintu. Setelah lima langkah, Pak Pramono berhenti dan melirik ke belakang.

“Penawaran ini tidak akan aku ulangi,” kata Pak Pramono dingin. “Saat aku melangkah keluar dari rumah ini tanpa kau turuti kemauanku, pihak yang berwajib – kepolisian, akan segera aku hubungi. Segera.”

Dina meloncat dari kursinya dan berusaha menahan kepergian Pak Pramono. “Tunggu! Saya mohon, Pak! Berhenti dulu!” Dina sangat kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya ia perbuat? Seluruh tubuhnya bergetar karena takut dan dia tidak dapat berpikir jernih. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa banyak berpikir, Dina mengganguk lemah. “Baiklah. Anda menang.”

“Apa itu artinya kamu mau melakukan semua yang aku minta?”

Dina ragu-ragu sesaat, matanya menatap ke lantai dengan hampa dan akhirnya dengan suara lemah dia menjawab. “Iya. Saya tidak punya pilihan lain.”

“Bagus. Kalau begitu ayo kita buktikan saja.” Pak Pramono duduk di sofa dan menunggu dengan santai. Saat Dina berdiri terdiam, Pak Pramono pun tersenyum puas.

“Buka bajumu.” Perintah Pak Pramono.

###

Hari mulai siang dan Alya masih terus membolak-balik halaman tabloid Ibu & Anak. Dia masih menunda pekerjaan rumah seperti mencuci piring atau memasak. Setelah merasa sedikit sembuh dari pusing, barulah Alya bangkit dari bermalas-malasan dan melangkah menuju dapur.

Saat itulah terdengar pintu pagar dibuka.

Siapa yah? Apa mungkin tukang pos yang mengantarkan surat atau paket? Pikir Alya dalam hati. Saat membuka pintu, Alya menemui Pak Bejo sedang membawa tas kresek hitam besar.

“Oh, saya kira siapa. Gimana Pak Bejo?” tanya Alya.
“Mbak Alya kok di rumah? Tidak kerja hari ini?”
“Oh, nggak, Pak. Soalnya hari ini badan agak kurang sehat, kepala juga pusing.”
“Oh begitu. Ini saya mau ngambil sampah. Biasanya Bu Bejo yang ngambil sampah di keranjang belakang. Tapi tadi tiba-tiba saja Bu Bejo juga tidak enak badan.”

Meskipun sedang malas berbasa-basi, Alya tidak mau tidak sopan terhadap tetangganya ini. “Oh begitu. Sampahnya ditaruh depan rumah saja, Pak. Nanti diambil sama tukang sampah yang keliling kan?”

“Iya, Mbak,” jawab Pak Bejo. “Kalau diletakkan di keranjang depan, pasti diambil tukang sampah komplek.”

Alya mengangguk dan mempersilahkan Pak Bejo masuk.

“Em, maaf Mbak. Tapi boleh saya minta segelas air putih? Saya haus sekali.” tanya Pak Bejo.

“Tentu saja boleh, Pak. Kan sudah biasa? Anggap saja rumah sendiri. Sini, biar saya saja yang mengambilkan. Bapak duduk dulu.” Kata Alya sopan.

Ketika kembali dengan segelas air putih, Pak Bejo sudah duduk di ruang tengah. Dengan cepat Pak Bejo meneguk air putih dan mengembalikan gelasnya pada Alya. Ibu muda yang cantik itu mencoba mengambil gelas, tapi sebelum sempat menarik gelas, tangan Alya sudah ditarik oleh Pak Bejo. Tubuh Alya tertarik ke depan ke arah pelukan Pak Bejo. Dengan sigap Alya memutar tubuh sehingga Pak Bejo kini berada di belakangnya dan mencoba lari, tapi Pak Bejo terus memegang tangan Alya dan memeluk tubuhnya. Saat mereka bergumul gelas yang dipegang Alya terlempar hingga pecah berkeping-keping. Tangan Pak Bejo mulai nakal meraba-raba dada kenyal Alya dan meremasnya dengan sangat keras hingga terasa sakit. Alya membungkukkan badan ke depan mencoba melepaskan diri dari pelukan erat Pak Bejo.

Semua usaha Alya sia-sia. Untuk bisa mempertahankan keseimbangan diri, Alya harus mundur ke belakang. Tanpa dikomando, Pak Bejo segera beraksi. Pria tua itu menyelipkan selangkangannya yang sudah membusung besar ke lipatan pantat Alya. Tangannya juga meremas buah dada Alya dengan sangat kasar. Alya mengernyit kesakitan.

“He-Hentikan, Pak!! A-Atau saya akan teriak minta tolong!” kata Alya terbata-bata. Dia sangat ketakutan.

“Aku tahu Mbak Alya tidak akan melakukan itu. Apa yang dibutuhkan Mbak Alya adalah tidur dengan laki-laki sejati. Setelah kita bersetubuh nanti, Mbak Alya akan menjadi seorang wanita yang mendambakan kont*l besar setiap hari.” Kata Pak Bejo sambil terengah-engah penuh nafsu.

Setelah berusaha mengatasi kepanikan, Alya mencoba melawan. Tangan Alya meraih rambut Pak Bejo, memaksa pria tua itu menunduk dan dengan sekuat tenaga Alya menyepak kemaluan Pak Bejo.

“Aduh! Lonthe!!”

Pria tua yang mesum itu pantas menerimanya. Dengan nekat Alya mencoba kabur ke pintu depan sambil melewati Pak Bejo yang sedang kesakitan. Salah besar. Tangan Pak Bejo menarik rambut Alya dan membanting tubuh si cantik itu ke lantai. Alya yang jauh lebih ringan terbanting dengan keras.

Pak Bejo melepaskan rambut Alya.

Alya mencoba berdiri dengan sempoyongan, ia berusaha mempertahankan kesadarannya. Dengan satu tamparan keras di pipi, tubuh Alya terlempar lagi ke lantai. Air mata mulai menetes di pipi mulus Alya. Tamparan kedua menyusul tak lama kemudian, membanting tubuh Alya ke arah yang berlawanan. Akhirnya pukulan dan tendangan Pak Bejo seakan tak berhenti menghajar tubuh Alya. Pak Bejo mengunci tubuh Alya, sehingga walaupun Alya berusaha melawan, semua tidak ada gunanya. Tak perlu waktu lama sebelum akhirnya perlawanan Alya mengendur dan tubuhnya mulai lemas. Tamparan demi tamparan Pak Bejo menjadi hajaran yang tak tertahankan.

“Pak!! Saya mohon!! Hentikan! Hentikan!!” ratap Alya sambil menangis.

Akhirnya Pak Bejo berhenti menghajar Alya. Alya mulai meraung-raung dan menangis sejadi-jadinya. Darah menetes dari hidungnya yang sembab.

“Nggak apa-apa. Sebentar lagi juga sembuh.” Pak Bejo menyeringai.

Tangan Pak Bejo mulai bekerja dengan cepat melucuti pakaian yang dikenakan Alya. Pak Bejo melepas rok dan rok dalam yang dipakai Alya. Akhirnya Alya bisa merasakan tangan kuat pria tua itu merobek celana dalamnya.

Alya tidak percaya ini semua terjadi padanya. “Ini pasti mimpi buruk.”

Pak Bejo juga tidak percaya melihat kemolekan tubuh Alya. Kaki yang jenjang, paha yang mulus dan rambut tipis tercukur rapi menutup gundukan mem*k yang bersih. Keindahan yang tidak ada duanya. Keindahan tubuh Alya persis seperti apa yang selalu diidam-idamkan oleh Pak Bejo ketika masturbasi sendirian di kamar mandi. Tubuh yang indah itu kini tergolek pasrah di atas lantai.

Pak Bejo tak perlu waktu lama untuk menyerang tubuh Alya. Dia membenamkan kepala di antara paha Alya dan mulai menghirup aroma wangi liang kewanitaannya. Pak Bejo mulai menjilati bibir kemaluan Alya.

“Ya Tuhan!” Alya menggigil tak berdaya sambil mencengkeram kepala Pak Bejo dengan kedua tangannya dan mencoba mendorongnya menjauh. Bahkan Hendra tak berani melakukan itu padanya. Lidah Pak Bejo makin lama makin meningkat intensitas iramanya dan Alya mulai kehilangan kendali pada tubuhnya. Dengan malu Alya mulai menyadari kalau tubuhnya perlahan menikmati apa yang dilakukan oleh Pak Bejo sementara batinnya mencoba mengingkari.

“Aaah!!” lenguh Alya keras sambil terus mencoba mendorong kepala Pak Bejo.

Lenguhan Alya makin lama makin keras dan tubuhnya menggigil penuh nafsu birahi di bawah rangsangan luar biasa dari Pak Bejo. Alya sudah tidak ingat lagi akan semua hal yang ia junjung tinggi, pekerjaan, pendidikan, latar belakang, keluarga, suami, anak… semua hilang ditelan nafsu. Tidak ada jalan keluar. Dia akan ditiduri oleh laki-laki ini, seorang pria tua yang ternyata memiliki hati busuk.

Dengan kecepatan tinggi, Pak Bejo mulai meloloskan baju dan celana yang ia kenakan. Saking nafsunya, ia bahkan merobek kaos oblongnya. Berbaring di lantai, Alya sekilas melihat batang zakar Pak Bejo sebelum dia akhirnya memeluk Alya. kont*l Pak Bejo sangat besar, bahkan lebih besar dari milik Hendra, batin Alya dalam hati. Kaki Alya yang jenjang diangkat ke atas oleh pria tua yang sudah nafsu itu, keduanya ditautkan di pundak Pak Bejo dan dengan secepat kilat, Pak Bejo sudah sampai di selangkangan Alya. Tanpa tunggu waktu terlalu lama, langsung dilesakkan kont*lnya ke dalam mem*k Alya.

“Ya Tuhan!” lenguh Alya ketika penis Pak Bejo masuk ke dalam liang kemaluannya. Si cantik itu bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar tidak berteriak kesakitan saat kont*l Pak Bejo dipompa dalam rahimnya berulang-ulang kali.

Tapi Pak Bejo tetaplah seorang pria tua. Tidak sampai lima menit, Pak Bejo sudah melepaskan cairan pejuhnya di dalam rahim Alya. Alya menatap wajah Pak Bejo dengan perasaan campur aduk.

“Sudah kubilang kalau kau akan menikmati semua ini, Mbak Alya. Lenguhanmu terdengar sangat keras dan merangsang.” Kata Pak Bejo sambil meringis penuh kemenangan.

Alya yang malu memalingkan wajah.

Saat Alya berusaha bangun, Pak Bejo menarik tubuh Alya dan memeluknya.

“Mau kemana, sayang? Kita kan belum selesai. Kamu nggak pengen dikenthu lagi?”
“Mau ke kamar mandi.” Kata Alya berusaha melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo.
“Tapi kamu kan nggak bisa pergi seperti ini.”

Pak Bejo berdiri dan membantu Alya ikut berdiri. Satu persatu dilepaskannya semua pakaian yang melilit tubuh indah Alya. Mulai dari baju, BH sampai rok dalam yang masih tersangkut di kaki Alya. Setelah selesai, dibaliknya tubuh Alya.

“Sekarang baru boleh pergi.” Kata Pak Bejo terkekeh sambil menampar kecil pantat Alya yang bulat dan mulus. Sambil menahan air mata, Alya pun pergi ke kamar kecil.

Saat kembali ke kamar tengah, Pak Bejo sedang menonton acara TV.

“Duduk di pangkuanku!” Perintah Pak Bejo sambil menepuk kakinya. Alya sempat ragu-ragu untuk sesaat, dia sangat sadar bahwa dirinya saat ini sedang telanjang tanpa sehelai benangpun di depan seorang pria yang bukan suaminya sendiri. Orang itu kini menghendaki tubuh indah Alya duduk di pangkuannya. Alya hanya bisa mendesah penuh kepasrahan. Air matanya kembali menetes.

Tak berapa lama setelah duduk di pangkuan Pak Bejo, tangan jahil pria tua itu mulai meraba-raba tubuh indahnya. Lama kelamaan, api yang tadinya padam mulai menyala lagi. Kali ini Pak Bejo ingin mengeluarkan pejuh di mulut Alya. Istri Hendra itu memang sangat jarang melakukan oral seks atau fellatio pada suaminya sendiri karena terlalu alim. Sekali dua kali dilakukannya dengan terpaksa. Alya selalu menganggap hal itu kotor dan menjijikkan. Hanya pemain film porno yang pernah melakukannya.

“Aku tidak mau melakukannya.” Kata Alya bersikukuh.

Tanpa banyak bicara Pak Bejo meraih kepala Alya dan akhirnya istri Hendra itu hanya bisa pasrah. Alya mulai mengoral kont*l Pak Bejo.

Remasan tangan Pak Bejo di kepala Alya mengeras. Si cantik itu bisa merasakan denyutan di kont*l yang diemutnya kalau Pak Bejo hampir mencapai orgasme. kont*lnya sangat besar dan keras di dalam mulut Alya sehingga dia mulai batuk-batuk dan kehabisan nafas tapi Pak Bejo tidak peduli. Alya berusaha mundur untuk menarik nafas, tapi tangan Pak Bejo meraih rambut belakang Alya dan mendorongnya maju sampai tertelan seluruh batang kemaluan sang pria tua. Karena kuatnya dorongan Pak Bejo, tubuh Alya menggelepar karena tercekik kehabisan nafas.

Alya berontak dan berusaha melepaskan diri, tapi Pak Bejo terlalu kuat untuknya. Lalu perlahan pria tua itu berhenti sesaat, memberikan kesempatan bagi Alya untuk bernafas sejenak. Sayang hanya sebentar, karena kemudian tiba-tiba saja kepala Alya didorong maju dan dipaksa menelan seluruh batang kont*lnya. Tepat ketika ujung kepala kont*l Pak Bejo menyentuh tenggorokan Alya, air mani pun meledak di dalam mulutnya.

Tidak ada jalan lain kecuali menelan seluruh pejuh yang dikeluarkan oleh Pak Bejo untuk menahan diri agar tidak tercekik. Saat dilepas oleh Pak Bejo, Alya rubuh ke belakang dan menarik nafas lega. Seluruh pipi dan dagunya belepotan air mani Pak Bejo yang keluar dari bibirnya yang merah.

Sadar apa yang baru saja diminumnya, langsung saja Alya merasa mual. Istri Hendra itu segera lari ke kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Setelah muntah, Alya merasa lebih baik dan tidak lagi merasa mual. Sesaat setelah muntah, barulah Alya sadar kalau Pak Bejo sudah berdiri di sampingnya. Alya tidak melakukan perlawanan apapun saat pria yang lebih pantas menjadi ayahnya itu memeluk tubuh indahnya yang telanjang dan mengelus rambutnya yang indah untuk menenangkan si cantik itu.

“Apa Mbak Alya sudah enakan sekarang?” bisik Pak Bejo. Mau tak mau Alya mengangguk pasrah.

Pak Bejo membantu Alya bersih-bersih sebelum membawa ibu rumah tangga yang cantik itu kembali ke ruang keluarga. Pak Bejo menyuruh Alya duduk di salah satu sofa sementara dia sendiri duduk tepat di hadapan Alya.

“Santai saja. Jangan dianggap masalah berat.” Kata Pak Bejo sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menghisapnya. “Pindah channel TVnya.”

Dengan menurut, Alya meraih remote TV dan memencet tombol. Entah acara apa yang ingin ditonton Pak Bejo, Alya tidak peduli.

###

Bagaimana nasib Dina, Alya dan Lidya selanjutnya?

BAGIAN SATU
TAMAT

RANJANG YANG TERNODA #09

Ketika jari Paidi melesak masuk, tanpa sadar Alya meremas kemaluan Paidi dengan kencang. Penis itu begitu besar dan keras, Alya seakan tak mampu menggenggamnya utuh karena ukuran lingkarnya yang sangat besar. Dia tak pernah menduga orang sekurus Paidi memiliki penis yang sedemikian besarnya, ia sudah memperkirakan ukurannya, tapi penis milik Paidi ini melebihi semua imajinasi lliarnya. Batang kemaluan hitam besar milik Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya yang halus, si cantik itu bisa merasakan denyut yang bergerak di urat yang bertonjolan di batang yang terisi oleh desakan darah dan sperma yang siap diledakkan.



Paidi menarik jarinya dan merubah posisi. Ia mengangkat tubuhnya sehingga Alya kini bisa melihat langsung ukuran sebenarnya batang kemaluan laki - laki yang baru saja menindihnya. Mata indah si cantik itu langsung terbelalak!



Luar biasa besarnya!



Jauh lebih besar daripada milik Hendra atau bahkan Pak Bejo!



“Ya Tuhan!” desis Alya yang terkejut.



Paidi nyengir. Dia bangga dan bahagia melihat reaksi majikannya yang terkejut saat melihat ukuran tongkolnya. Reaksi jujur yang ditunjukkan oleh Alya sungguh sedap baginya. Rasa ketakutan karena tak ingin ketahuan, perasaan bersalah, nafsu yang menggelegak yang sangat terlihat di wajah Alya adalah keindahan sempurna bagi Paidi. Inilah yang membuatnya terangsang hebat.



Alya memang bukan seorang perawan, tapi Paidi memperkirakan tusukan pertama penetrasinya akan seret sekali, karena walaupun sudah pernah berkali - kali melayani nafsu binatang Pak Bejo, memiaw Alya masih sangat mungil.



Alya memandang penis Paidi dengan penuh ketakutan sekaligus kekaguman. Seakan ia berhadapan langsung dengan seekor ular kobra dan takut untuk menggerakkan tubuh sedikitpun. Bagi Paidi, menyaksikan konflik batin ibu muda yang jelita itu sungguh suatu kenikmatan yang tak terkira.



“Apakah ini yang anda inginkan selama ini?”



Alya menatap Paidi bingung, apa maksud kata - katanya itu?



Paidi tersenyum dan mengulangi lagi ucapannya, “setelah selama ini ditiduri oleh laki - laki lemah seperti Pak Hendra dan laki - laki brengsek seperti Pak Bejo… apakah ini yang ibu inginkan? Kejantanan sejati seperti ini?”



Wajah Alya memerah karena malu. Ia marah dan kesal pada sikap Paidi yang arogan, tapi memang benar apa kata supirnya itu - Alya sangat tertarik mencicipi kejantanan milik Paidi yang luar biasa besarnya. Warna merah jambu karena malu menutup pipi hingga ke dada Alya. Kejantanan sejati… kejantanan sejati… kata - kata itu terus berulang di otak Alya yang dipenuhi kekalutan.



Tidak mungkin ada penis sebesar itu! Terlalu besar! Ini semua pasti rekayasa! Batin Alya dalam hati. Kalau mau hiperbola, tidak mungkin ada penis yang batangnya hampir sama besarnya dengan pergelangan tangan Alya! Ketika Paidi berpindah posisi dan kedua tangannya kini berada di bawah rok Alya, ibu muda yang jelita itu bisa melihat dengan jelas batang penis Paidi!



Alya terbata - bata melihat panjang penis Paidi. Tidak akan muat! Benda ini tidak akan muat masuk ke dalam kemaluannya yang mungil! Benda itu akan menghancurkan rahimnya! Batin Alya lagi.



“Terlalu besar…” desis Alya perlahan. Nafasnya kembang kempis, ada desakan berat di dalam dadanya, di tenggorokan dan dalam pikirannya. Panas menghentak - hentak membuat birahi Alya meninggi, ada kehausan luar biasa yang ditimbulkan pemandangan indah yang diberikan Paidi pada lubang kemaluan Alya. Paidi tersenyum penuh kemenangan ketika dia menarik celana dalam Alya, wanita cantik itu menggerakkan pinggulnya tanpa sadar, memudahkan Paidi melucuti celana dalamnya yang mungil.



Alya telah menyerah kepada supirnya…



Alya telah ditaklukkan…



“Ya Tuhan! Apa yang… suamiku…”



Paidi tersenyum, lagi - lagi laki - laki kurus berkulit hitam itu menempelkan bibirnya ke bibir tipis Alya, mengatupkan mulutnya ke mulut Alya dengan satu ciuman penuh nafsu. Apapun kata - kata yang hendak diucapkan Alya, semua permohonan dan penolakannya, luruh oleh ciuman itu. Alya menggeser kepalanya mencoba menghindar dari ciuman Paidi, tapi gerakan itu justru membuat Paidi mendapatkan akses ke arah telinganya yang seputih pualam. Setelah gagal mencium Alya, perhatian Paidi beralih ke arah lain. Bibir dowernya menyosor ke daun telinga Alya. Lidah supir itu bergerak lincah menjelajahi tiap sudut bagian dalam telinga Alya. Tubuh wanita cantik itu menggelinjang geli ketika merasakan sentuhan lembut lidah Paidi pada telinganya. Lidah Paidi bergerak lincah membuai Alya sementara tangannya bebas bergerak di bawah roknya. Jari - jari nakal milik lelaki kurus itu membelai tiap jengkal paha putih milik istri majikannya.



Paidi tidak berhenti di bibir Alya, lidahnya menjilat pipi dan telinga si cantik itu, masuk ke dalam daun telinganya, memutar dan merasakan tiap sisi kecantikan parasnya. Dada kurus Paidi bisa merasakan kehangatan yang dihadirkan buah dada Alya yang menempel kepadanya, mendorongnya naik turun seiring emosi dan nafsu yang menggelora di badan sang ibu muda. Alya tidak bisa menghindar dari rangsangan hebat yang dilakukan Paidi pada telinga dan pipinya, tubuhnya bergetar dan menggelinjang. Tangan Paidi merenggangkan kedua paha Alya, mengangkat roknya sampai ke lekuk pinggul.



Pria itu memposisikan dirinya di antara kedua kaki sang majikan.



Alya menyadari bahaya yang tengah ia hadapi. Godaan lidah Paidi yang terus menjilati wajah dan telinganya tak berbelaskasihan… sekaligus menggairahkan. Lelaki kurus berkulit gelap itu benar - benar tahu bagaimana caranya membuatnya bergairah! Sangat nakal, sangat… terlarang. Alya memiringkan kepala, membuat telinganya jauh dari jangkauan lidah Paidi, ia menatap pria yang tengah menggumulinya dan hendak memintanya berhenti. Ia menatap mata Paidi… mata yang penuh dengan hasrat dan nafsu.



Nafsu birahi untuk menggauli tubuh indah majikannya.



Batin Alya dipenuhi perasaan yang berkecamuk dan menggelora. Dia bingung, jantungnya berdebar kencang dan nafasnya kembang kempis naik turun. Bukannya menolak laki - laki yang bukan suaminya, Alya malah menggoyang pinggul karena tak tahan godaannya. Ia malu sekali. Ia ingin memaki - maki dirinya sendiri yang tak mampu menahan birahinya, namun ketika mulut Paidi mencium bibirnya, Alya tak mampu melawan sedikitpun. Bibirnya yang indah membuka sedikit untuk menerima serangan nafsu dari sang supir. Ketika lidah Paidi masuk ke dalam mulutnya, lidah Alya menyambut dan keduanya segera bertemu dalam pertempuran nafsu.



Ujung gundul penis Paidi menyentuh bibir vagina Alya, batang kemaluan laki - laki tua itu siap dilesakkan ke dalam liang cinta sang ibu muda yang jelita. Mata indah milik Alya menyala karena kaget. Dengan pandangan bingung, wanita cantik itu menatap mata buas penuh nafsu milik Paidi yang sedang memeluk dan menciuminya.



Paidi menatap mangsanya dengan senyum penuh kemenangan. Dia sangat menyukai saat - saat seperti ini, saat di mana wanita yang hendak ia tiduri menatap tak percaya kepadanya. Mata Alya terbelalak lebar karena tahu penis hitam milik sang supir sudah siap masuk ke dalam liangnya yang mungil. Paidi mendorong pantatnya ke depan dan melepaskan ciuman dari mulut Alya.



“Ja - Jangan! Jangan…!! Kamu tidak boleh…” Alya mencoba melawan.



Paidi menusuk lagi. Akhirnya ia benar - benar menembus gerbang kewanitaan Alya.



“Ahhhhhhhh!!!” jerit Alya tertahan.



Ia lalu berhenti. Paidi kaget sekaligus senang ketika tahu bahwa memiaw Alya ternyata masih cukup sempit dan rapat, batang penisnya yang masuk ke dalam liang kenikmatan Alya seperti dihimpit oleh dinding basah yang rapat dan nyaman, memberikan kehangatan yang lain daripada yang lain. Setelah tidur dengan Hendra dan Pak Bejo, memiaw mungil itu masih tetap seperti milik seorang pengantin baru. Paidi menggerakkan badan ke depan, menusukkan tongkolnya ke memiaw Alya lebih dalam lagi.



Masuknya batang penis Paidi yang menjajah vaginanya sedikit demi sedikit membuat Alya secara refleks membuka kakinya lebar - lebar. Paidi mengangkat pinggul Alya yang seksi dan mengangkatnya tinggi sementara dia melanjutkan niatnya menumbuk sang bidadari. Hampir tiga perempat bagian batangnya sudah masuk ke dalam, melewati bibir vagina Alya yang basah dan merah. Paidi menusuk sekali lagi, menambah kedalaman batangnya.



“Ooooooh… jangan… aku tidak kuat lagi!”



Paidi tertawa penuh kemenangan dan mendorong kemaluannya lagi. Pinggul Alya mulai tersentak - sentak tak teratur di bawah pelukan sang supir, kakinya yang jenjang meronta - ronta. Alya mencoba mendorong tubuh Paidi, ia mencoba memberontak meskipun semuanya sia - sia, Paidi masih tetap bertahan. Justru karena Alya memberontak, batang kemaluan laki - laki kurus itu makin membenam di dalam liang cintanya. Akhirnya si cantik itu menyerah, batang kemaluan sang supir sudah terlalu dalam terbenam dan memiawnya sudah menangkupnya dengan erat, tak akan ada gunanya melawan apalagi mencoba mendorong Paidi. Dia harus rela disetubuhi Paidi.



Kalimat itu membuat gemetar seluruh tubuh Alya. Dia tak mampu berbuat apa - apa lagi! Dia hanya bisa pasrah! Dia akan segera disetubuhi supirnya!



Nafsu birahi yang bercampur dalam benak sang ibu muda membuatnya sangat bergairah. Ada perasaan aneh yang menyapu tubuh Alya, gairah sensasi birahi yang menyelimuti dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Ia mulai terbiasa dengan ukuran kemaluan Paidi. memiawnya yang terus disiksa oleh kenikmatan mulai lengket pada batang penis sang supir, dinding memiaw Alya mulai merenggang dan menyesuaikan dengan ukuran penis yang menginvasi.



Namun… ketika Alya sudah bersiap, tiba - tiba saja Paidi berhenti.



Setelah beberapa detik tanpa ada gerakan, Alya akhirnya sadar Paidi sudah berhenti menusuk. Ketika mata indah ibu muda yang cantik itu melihat ke tubuh yang menguasainya, Paidi rupanya tengah terdiam dan menikmati saat - saat yang sangat diimpikannya, yaitu saat penisnya masuk ke dalam memiaw Alya. Vagina Alya meremas batang penis yang ditusukkan ke dalam, menyebarkan sentakan birahi ke seluruh tubuh Alya. Wanita cantik itu puas sekaligus malu karena bagian dalam tubuhnya seakan membelai batang kemaluan Paidi. Bagaimanapun caranya Alya mencoba untuk mengendalikan tubuhnya sendiri.



Ketika Alya melihat ke atas, ia melihat Paidi menatapnya tajam, merekapun saling bertatapan. Wajah Alya memerah karena malu.



“Su… sudah semua? A… apa sudah masuk semua?” tanya Alya.



Paidi menyeringai. “Belum.”



Pria kurus berkulit gelap itu mengeluskan tangannya di lekuk pinggang Alya, menikmati kehalusan kulit sang bidadari, naik ke atas, lalu menggenggam erat lengan mungil ibu muda itu.



“Belum, ini belum masuk semua,” tambah Paidi. Ia ketawa dan menusuk lagi.



Betapa nikmatnya melihat wajah Alya yang terkejut oleh jangkauan tusukannya. Kali ini Paidi memeluk erat Alya supaya posisi mereka tidak berubah dan ia bisa menusuk lebih dalam. Paidi sangat menyukai cengkraman vagina Alya yang seperti sarung tangan erat menangkup batang kemaluannya. Tusukan penis panjang itu bagai melawan dinding rahim Alya dan menembus terus ke dalam rintangan yang sebelumnya belum pernah ditembus oleh penis lain.



“Ooooooh… Ya Tuhan… oooooh.” Desah Alya.



Paidi melepas satu tangan dan meraih rambut panjang Alya, ia menjambak rambut si cantik itu dan membuat kepalanya tertarik ke belakang. Alya berteriak kesakitan, tapi rasa sakit itu seiring dengan gelombang nikmat sodokan di selangkangannya. Vagina Alya meremas penis Paidi tiap kali benda panjang yang keras itu masuk dan mencoba menjajah ke dalam.



Beberapa sat kemudian, Alya bisa merasakan tamparan kantung kemaluan Paidi yang mengenai pantatnya. Saat itulah Alya sadar, kalau kantung kemaluan Paidi telah menempel di pantatnya, itu artinya batang kemaluan sang supir telah masuk seluruhnya ke dalam memiawnya! Secara insting, Alya mulai menggoyang pantatnya.



Paidi menatap ke bawah, dia menikmati kecantikan alami Alya, dia menikmati halusnya leher jenjang Alya, dia menikmati matanya yang melebar dan nafasnya yang kembang kempis. Mata si cantik itu kabur, Paidi memberi kesempatan pada Alya untuk mengembalikan kesadaran, ketika akhirnya mata indah itu menatapnya tajam, Paidi tersenyum penuh kemenangan pada Alya. Wanita cantik itu membalasnya dengan senyuman lemah.



“Sekarang,” kata Paidi, “saatnya menikmati memiaw Bu Alya.”



Mata Alya terbelalak melebar, dia terkejut oleh situasi dan kata - kata kasar yang dikeluarkan sang supir. Tapi Paidi lebih terkejut lagi ketika dia merasakan kaki jenjang Alya melingkar di pinggangnya.



Paidi tersenyum lagi, kali ini Alya membalasnya dengan gugup.



Lalu Paidi mulai menyetubuhinya.



Alya melenguh dan mengembik penuh nafsu ketika Paidi menarik diri dan kemudian menusuk dengan kekuatan penuh. Berulang kali Paidi mengangkat pinggulnya dan menjatuhkan diri ke dalam selangkangan Alya yang terbuka lebar. Paidi menikmati kelembutan paha dalam Alya yang bagaikan sutra ketika majikannya ini mengikat pinggulnya dan menariknya ke bawah. Majikannya yang seksi takluk akan kenikmatan birahi di bawah pelukannya! Apakah ada yang lebih nikmat daripada ini?



Tentu saja ada, bagi Paidi, kenikmatan puncaknya adalah ketika dia menyemburkan spermanya dan berharap ia bisa menghamili wanita sesempurna Alya. Itu akan jadi hal yang terindah baginya.



Paidi merenggut pundak Alya dan menikmati tiap jengkal kedalaman memiawnya, ia terus mendorong penisnya dan mengobrak - abrik memiaw yang seharusnya hanya menjadi milik suami wanita cantik yang kini meringkuk dalam pelukannya. Bagi Paidi, sesaknya memiaw Alya adalah surga yang menjadi nyata.



Kenikmatan yang terlalu berlebih membuat Alya tak kuat lagi, ia melolong ketika cairan cintanya mengalir. Ratapan yang keluar dari mulut Alya bertolak belakang dengan orgasme yang keluar dalam liang kenikmatannya. Paidi merasakan getaran pada tubuh indah yang kini berada di bawahnya, ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan lagi genjotannya.



“Jangan Mas… sudah… sudah cukup… aku sudah keluar… sudah…”



Paidi hanya tertawa dan meneruskan gerakan maju mundurnya.



“Oh Tuhan! Sudahlah, Mas! Sudah cukup… aku tidak kuat lagi… kamu dengar tidak? Aku sudah keluar… aku tidak kuat…”



Paidi tidak mempedulikan rengekan Alya dan meneruskan gerakannya. Alya menggeliat dan meronta, mencoba mendorong tubuh Paidi. Tapi pria kurus itu lebih kencang memegang tubuhnya, ia juga lebih kuat dan lebih bernafsu. Tiba - tiba saja tubuh Alya mengejang, dengan satu lolongan kalah, Alya sampai di puncak kenikmatannya yang kedua. Wanita cantik itu tersentak - sentak dan bergetar akibat sensasi luar biasa yang berasal dari tubuh bagian bawahnya. Si cantik itu tidak percaya, kaget dan terkejut… belum pernah ia mengalami hal seperti ini sebelumnya…



Alya ambruk dalam pelukan Paidi, kalah dan pasrah. Tidak ada gunanya melawan. Paidi meneruskan aksinya menggoyang dan menusuk memiaw Alya sekuat tenaga, memberikan serangan bergelombang di antara selangkangan sang wanita idaman yang mengikat pinggulnya dengan kaki yang jenjang.



Gelombang orgasme membuat Alya lemas, ia tidak lagi melawan dan membiarkan Paidi melakukan apa saja dengan tubuhnya. Paidi adalah seorang pria kuat yang telah mengambil apa yang ia inginkan dan dari apa yang baru saja Alya alami, ia gembira sekali Paidi menginginkannya.



Kehangatan yang lembek terasa di sekitar selangkangan dan pinggang Alya, si cantik itu segera sadar kalau Paidi akhirnya mencapai puncak orgasme. Semprotan pejuh Paidi melesat jauh ke rahim Alya, tubuh wanita cantik itu bergetar seakan menunggu - nunggu bibit unggul yang ditanam oleh pria kurus berkulit hitam yang bukan suami sahnya ini.



Paidi menarik tongkolnya dengan pelan, batangnya yang tebal dan panjang penuh dengan lumuran cairan cinta yang tercampur dari keduanya.



Untuk beberapa saat lamanya kedua tubuh telanjang itu diam tak bergerak di atas sofa. Paidi mengguling ke bawah dengan lemas, ia meninggalkan Alya yang masih diam tak bergerak. Sambil duduk dan menyalakan rokok Paidi melirik ke arah wanita jelita yang baru saja ia tiduri.



“Bagaimana? Ibu suka kan tidur sama saya?”



Alya mendengus keras dan berbalik, ia lebih memilih menatap tembok karena tak ingin melihat wajah puas Paidi yang telah berhasil menidurinya. Seluruh pikiran Alya terbagi menjadi dua bagian, saling bercampur dan bertarung. Alya tidak bisa memilah diri dan memutuskan apakah kenikmatan luar biasa yang telah ia raih sebagai hasil memuncaknya birahi ataukah rasa putus asa yang sangat mendalam yang saat ini sebenarnya ia rasakan. Dia gagal menjadi wanita yang tegar dan mampu berjuang demi diri sendiri. Ia selalu ditekan oleh keperkasaan lelaki bejat seperti Pak Bejo dan kini oleh nafsu binatang supirnya sendiri. Alya telah kalah dan ditundukkan.



Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Alya tidak tahu dan dalam hati kecilnya ia mungkin tidak peduli. Dia hanya tahu kalau dia kini sedang berbaring di samping seorang laki - laki yang telah membuatnya terbang ke langit ke tujuh dengan permainan cinta yang fantastis, penuh rasa cinta yang menggebu dan nafsu yang membuncah. Dia tidak peduli kalau laki - laki itu bukanlah suaminya yang kini tergolek lemah tak berdaya di salah satu kamar. Alya juga tidak peduli kalau laki - laki itu bukanlah pemerkosanya yang bejat dan tidak tahu diri. Dia tidak peduli.



“Sebaiknya Bu Alya segera kembali ke kamar sendiri. Bapak mungkin sudah menunggu.”



Alya menatap laki - laki di sampingnya dengan pandangan lemah. Entah kenapa dia lebih ingin menghabiskan malam ini bersama Paidi daripada harus kembali ke kamar dengan Mas Hendra. Tapi itu pemikiran yang salah dan bodoh. Si cantik itu bergegas bangkit dan mengenakan pakaiannya kembali.



Suaminya pasti sudah menunggu! Dengan buru - buru Alya mengenakan BH dan baju, ia mencoba mencari celana dalam tapi tak kunjung menemukannya. Dengan kebingungan Alya mencari kesana kemari, di mana celana dalamnya? Kemana tadi Paidi membuangnya?



“Celana dalamku…? Mana celanaku, Mas? Jangan diam saja! Ayo bantu cari!”



“Seandainya kita hanya bisa bercinta malam ini, biarlah celana dalam Ibu menjadi benda yang bisa saya bawa sampai kelak saya pergi, saya akan menyimpannya sebagai benda paling berharga yang pernah saya miliki.” Kata Paidi dengan tenang, “lebih baik sekarang Ibu kembali ke Pak Hendra.”



Dengan langkah cepat Alya keluar dari kamar Paidi, melewati taman dan masuk ke rumah induk, ia mencari Hendra ke kamar. Nafas Alya yang kembang kempis mengejutkan Hendra yang tengah mengetik dengan laptop. Hendra sudah bangun? Jangan - jangan ia sedang menunggu Alya? Sambil berusaha mengembalikan perasaannya yang kacau balau setelah disetubuhi Paidi, Alya duduk di samping sang suami. Alya berkeringat dingin, semuanya hancur. Dunianya kembali berantakan, bukan oleh ulah Pak Bejo… melainkan oleh ulahnya sendiri… yang tergoda laki - laki lain!



“Kamu baik - baik saja?” tanya Hendra dengan suara dingin. Ia hanya menatap Alya sekilas dan melanjutkan lagi pekerjaannya.



Alya memandang wajah Hendra dari samping dan menyesali perbuatannya. Ia sangat menyesal… ia telah bersalah kepada suaminya, ia telah mengkhianati cinta mereka. Bukannya berusaha meraih kembali hati suaminya yang tengah terpuruk, ia malah jatuh ke pelukan laki - laki lain! Ini lebih buruk daripada diperkosa Pak Bejo. Ini sama saja dengan selingkuh! Sudah pasti, kesalahan ada di pundak Alya.



“Mmmm… aku baik - baik saja.” jawab Alya lirih.



“Kamu kok kebingungan begitu? Apa ada yang kamu pikirkan?”



“A… anu… aku… aku tadi sakit perut… dan… aku dari kamar mandi… dan…”, Alya tidak kuat menanggung ini semua, lagi - lagi dia harus berbohong kepada Mas Hendra. Yang lebih parah, kali ini dia menutupi ulahnya sendiri yang mau - maunya menerima rayuan Paidi dan bukan atas paksaan Pak Bejo. Dia benar - benar telah berubah menjadi seorang wanita gampangan! Ingin menangis rasanya Alya kalau ingat apa yang baru saja terjadi.



“Kamu sakit perut?”



“Mmm… sudah baikan… aku tidak apa - apa.”



“Tidur saja kalau sakit.”



“Iya mas…”



Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Hendra meneruskan pekerjaannya tanpa mempedulikan kehadiran Alya. Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan Alya berbaring di ranjang dan mencoba memejamkan mata. Pengkhianatannya dan tanggapan dingin Hendra membuat tubuhnya menggigil.



Tanpa sepengetahuan Hendra, setetes air mata mengalir di pipi Alya, sementara setetes air mani yang tersisa mengalir di pahanya.



###



Pojok pos ronda di gang keempat sebelah selatan rumah Pak Bejo sering digunakan sebagai tempat berkumpulnya para preman kampung. Tempat ini sebetulnya sudah tidak pernah dipakai lagi karena warga kampung lebih memilih menggunakan pos ronda yang ada di dekat perumahan, yang pernah dipakai Pak Bejo menggauli Alya. Apalagi karena para preman sering sekali menggunakan pos ronda ini sebagai markas mereka kalau sedang bermain judi atau mabuk - mabukan, maka tempat ini makin ditinggalkan dan dilupakan. Lokasinya juga agak jauh dari rumah lain dan menempel di belakang gedung sekolah bertembok tinggi, berbatasan dengan sebuah gang kecil yang langsung menuju ke jalan besar. Jarang ada yang berani melewati gang kecil ini, karena kalau ada yang lewat, para preman langsung beraksi meminta retribusi. Karenanya, warga kampung lebih memilih memutar lewat perumahan daripada harus melewati gang kecil ini. Tidak ada lagi orang menyebut tempat ini Pos Ronda, mereka kini menyebutnya Pos Preman.



Di tempat inilah Pak Bejo biasa menghabiskan waktunya.



Namun hari itu lain, hanya ada tiga orang saja yang berada di pos preman itu, Badu, Jabrik dan Kribo, ketiganya anak buah Pak Bejo. Botol minuman keras berserakan, asap rokok mengepul tinggi, pemandangan yang biasa bagi warga kampung, walau sesungguhnya bukanlah pemandangan yang sehat. Ketiga anak buah Pak Bejo itu sedang asyik dengan kegiatan masing - masing sambil tertawa - tawa. Entah apa ada yang lucu ataukah syaraf mereka sudah terpengaruh minuman keras.



Jabrik dan Badu sedang bermain kartu sambil melempar - lempar uang ribuan, sementara Kribo sibuk menikmati gambar artis - artis berdada sentosa yang ada di dalam majalah khusus pria dewasa yang tadinya ia rampas dari tas seorang anak SMA. Dari ketiganya, Kribo adalah yang paling ditakuti, tubuhnya besar dan wajahnya sangar. Bisa dianggap kalau dia ini tangan kanan Pak Bejo. Perhatian Kribo yang sedang membuka - buka majalah terusik ketika dia melihat ada satu sosok masuk ke gang mereka.



“Sst… duit! Duit!” bisik Kribo pada Badu dan Jabrik.



Kedua orang yang tadinya asyik dengan kartu mereka bangun dan memasang wajah sangar.



“Siapa yang lewat?” bisik Badu.



“Bukan orang kampung.” Jawab Jabrik. “Gak kenal.”



“Abisin aja.” Kata Kribo sambil kembali menatapi kemolekan artis yang pernah tampil di iklan sabun mandi berpose menantang di dalam majalah. Kalau hanya urusan kompas - mengompas mending dia berikan saja kepada dua temannya itu, dia malas berurusan dengan hal - hal sepele.



Badu dan Jabrik tertawa - tawa lagi karena mereka akan kembali menuai uang. Anehnya, sosok yang baru saja datang itu bukannya menjauh saat melihat mereka, dia malah mendekat bahkan berjalan dengan langkah yang sangat cepat menuju mereka. Aneh sekali!



Bruk!!!



Tiba - tiba saja orang itu menendang Badu!



Tubuh Badu yang tak siap terlempar jauh menubruk tembok. Nasib yang sama menimpa Jabrik yang juga terkejut melihat temannya terlempar.



Brak!!!



Jabrik terlempar terkena tendangan dan jatuh tepat di samping Badu. Kedua orang itu meringis kesakitan. Melihat kedua temannya terkapar, Kribo dengan kesal melempar majalah yang ia baca dan mencabut pisau lipat dari saku di celananya. Dia berjalan pelan ke arah Badu dan Jabrik, lalu membantu mereka berdiri. Tiga lawan satu, kelihatannya tidak seimbang tapi kedua kawannya sudah jatuh, orang ini harus diwaspadai. Kribo meludah dan menatap orang itu dengan pandangan seram. Badu dan Jabrik yang melihat Kribo sudah memegang pisau ikut - ikutan menyiapkan pisau lipat mereka.



“Siapa kamu!? Kurang ajar! Berani - beraninya menantang kami! Jangan sok jago! Tadi kami belum siap! Ayo maju!” teriak Badu, walaupun menantang, ia sebenarnya gentar juga, dengan tangan gemetar ia mengacung - acungkan pisau yang ia pegang ke arah orang yang tiba - tiba saja datang.



“Banci! Beraninya pakai senjata!” ejek orang itu sambil mencibir.



Badu menggerutu geram ketika orang tak dikenal itu maju tanpa mempedulikan pisau yang ia pegang. Badu tidak takut, toh dia tidak sendirian. Kedua kawannya yang lain juga sudah siap menyerang lelaki asing itu. Ketika komando Badu diteriakkan, mereka bertiga menyerang membabi buta. Tapi dengan mudah dan sigap ia menghindari semua serangan mereka. Orang itu sebenarnya tidak besar dan kekar, bahkan kurus dan sangat hitam, wajahnya juga terlihat tua dengan keriput yang tidak bisa disembunyikan. Tapi orang ini sangat liat dan lincah, gerakannya cepat dan efektif, semua diperhitungkan masak - masak, sepertinya dia sudah sering melakukan pertarungan jalanan semacam ini.



Ketika serangan mereka dengan mudah dapat dihindari, Badu, Jabrik dan Kribo merubah strategi dan mengepung sang lawan yang tidak bersenjata. Kali ini mereka mengunci posisinya dari semua sisi.



Kribo berteriak kencang sambil menyergap maju, ia menusuk - nusukkan pisaunya ke kepala sang lawan. Orang yang ia serang berputar cepat menggunakan tumit kanan dan melambaikan tangannya dengan keras - memukul tangkai pisau yang dipegang Kribo. Kaget karena tiba - tiba saja kehilangan senjata, Kribo lengah. Dengan cepat sang lawan menggunakan lengan bawahnya untuk mendesak leher Kribo dan menjatuhkannya ke bawah. Kribo terbanting dengan keras dan berteriak kesakitan. Kribo masih belum mau kalah, ia mencoba menyepak lawannya menggunakan kakinya yang bebas. Namun orang itu bukan orang biasa, ia melompat dan menubruk tubuh Kribo dengan sangat keras. Satu pukulan di rahang dan satu sodokan sikut di perut Kribo membuat pria berambut afro itu berteriak kesakitan. Kribo tak mampu bergerak lagi.



Melihat Kribo gagal merubuhkan sang lawan, bahkan berhasil dibekuk dengan sangat mudah, membuat Badu dan Jabrik saling berpandangan dengan bingung. Dari mereka bertiga, Kribo adalah yang paling kuat, ulet dan susah dilawan. Kalau Kribo saja jatuh, apalagi mereka berdua! Keduanya berteriak kencang dan lari ketakutan. Mereka lari terbirit - birit seperti baru saja melihat hantu.



Lawan mereka, tentu saja bukan hantu.



Orang yang mereka hadapi adalah Paidi. Dulu narapidana, lalu penjual bakso, sekarang supir.



Pria tua kurus itu geleng - geleng melihat sifat pengecut Badu dan Jabrik yang meninggalkan Kribo seorang diri. Ia melirik ke bawah dan melihat Kribo meringis kesakitan, ia mengembik minta ampun. Kribo tak bisa melarikan diri karena tubuhnya tak bisa digerakkan. Perutnya mulas karena sodokan sikut dan rahangnya seperti mau copot.



Paidi mendengus, ia mencengkeram kaos Kribo dan mengangkatnya ke atas.



“Dengar aku baik - baik dan jangan sampai lupa menyampaikan pesanku ini, bocah ingusan,” gertak Paidi. Ia menjelaskan tiap kata dengan mendorong tubuh sang preman ke pagar besi yang tumpul, pasti sakit sekali rasanya. “Aku akan melepaskanmu, dengan syarat kau mau menyampaikan pesan kepada Bejo Suharso. Mengerti? Mengerti tidak? Bagus! Bilang sama dia kalau Paidi tidak takut menghadapi berapapun anak buah yang dia punya, karena aku juga punya anak buah. Teman - temanku yang sudah lepas dari penjara akan senang sekali kalau mereka punya ‘kantung pasir’ yang bisa dipukuli untuk melepas penat selama dipenjara. Dia hanya preman kampung yang sok aksi. Bilang sama dia kalau dia sampai berani mendekati keluarga Hendra lagi aku tidak akan segan menghajarnya. Mengerti?”



“I - iya, bang… ngerti… nanti saya sampaikan… ke… uhhh… ke Pak Bejo.”



Paidi melempar tubuh Kribo ke tong sampah yang langsung terguling berantakan. Ia meninggalkan tubuh Kribo dan mengelap tangannya ke kaos yang ia kenakan.



Dengan langkah yakin Paidi meninggalkan Kribo yang sudah tak berdaya.



###



Hari ini, lagi - lagi Hendra memilih untuk berangkat ke kantor dengan diantar oleh Paidi. Dia menolak diantar Alya ataupun mengerjakan pekerjaannya di rumah, padahal pihak kantor sudah memberikan kompensasi pada Hendra agar dia mengerjakan saja tugas - tugasnya di rumah. Jurang antara pasangan suami istri serasi ini memang makin melebar. Hendra sudah berubah, ia bukan lagi sosok yang tenang dan mencintai istrinya, bahkan ada kesan kalau Hendra benci sekali pada Alya. Entah apa sebabnya.



Sore itu, Alya yang sedih pulang ke rumah dengan kelelahan. Tadi Mas Hendra sudah SMS kalau dia akan pulang besok, malam ini Mas Hendra ingin berkunjung ke tempat saudara dan menginap di sana, pulang kerja langsung dijemput oleh Anissa dan Dodit yang baru saja berangkat. Setelah memandikan, makan dan menidurkan Opi, Alya bersantai - santai di ruang tengah.



Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Alya menyaksikan sinetron di televisi dengan pikiran yang menggelayut. Entah sinetron apa yang sedang diputar di televisi itu, Alya sama sekali tidak memikirkannya, ia hanya sedang pusing memikirkan semua masalah yang menimpanya. Bukannya berkurang malah bertambah semakin ruwet. Tapi mungkin itu juga gara - gara dia sendiri yang lengah.



Alya menggelengkan kepala, dalam benaknya kini berulang - ulang adegan permainan cintanya dengan Paidi yang tak bisa hilang. Ia tahu ia hanya bisa sekali itu saja bermain cinta dengan Paidi dan memang sudah menjadi niat Alya untuk tidak mengulanginya lagi. Besok, Alya memutuskan untuk memecat Paidi, ia tidak ingin mengulangi kesalahannya menjadi budak Pak Bejo yang bejat itu. Hanya sekali itu saja ia mau melayani Paidi… ya, hanya sekali itu saja ia… mmm… tapi… kenapa rasanya ia rindu sekali pada pelukan laki - laki tua itu? Kenapa… tidak! Tidak boleh! Ia tidak mau!



Benak Alya yang kacau memang diakibatkan oleh retaknya hubungannya dengan Hendra dan perubahan mental akibat berulangkali ditiduri Pak Bejo, gairah seksual Alya menjadi meledak - ledak, ia membutuhkan permainan cinta yang tidak pernah lagi disediakan oleh Hendra. Paidi yang tiba - tiba saja hadir dalam kehidupannya adalah sosok yang sama sekali berbeda dengan Pak Bejo. Paidi mungkin tidak setampan Hendra, tubuhnya cenderung kurus dengan wajah jelek yang keriput dan kulit yang gelap terbakar matahari. Tapi anehnya… ada sesuatu yang lain dalam diri Paidi yang membuat Alya merinding jika berdekatan dengannya. Mungkin akibat terlalu sering berkencan dengan Pak Bejo membuat pandangan Alya terhadap seorang laki - laki bergeser. Ia tidak lagi menganggap ketampanan adalah segalanya.



Alya menggelengkan kepala, ia sudah melamun terlalu jauh.



“Kesepian ya, sayang?”



Alya terkejut mendengar suara jelek itu. Suara Pak Bejo!! Alya segera membalikkan tubuh dengan cepat, benar! Pak Bejo ada dibelakangnya! Kurang ajar! Kapan dia masuk? Bagaimana dia bisa masuk? Oh iya, dia masih memegang duplikat kunci rumah!



“Sejak kapan Pak Bejo ada di dalam rumah?” desis Alya geram. “Keluar! Bapak tidak diundang masuk ke rumah ini!”



“Ha ha ha, sejak kapan aku butuh undangan untuk menikmati memiaw kamu yang manis itu, sayang?” tawa Pak Bejo sambil mengelap air liurnya yang menetes. Ia benar - benar sudah rindu pada tubuh molek Alya. Ibu muda cantik itu memiliki tubuh yang sangat menggiurkan dan membuatnya kangen. Seperti seorang perantau yang ingin selalu kembali pulang ke rumah, sekali merasakan kehangatan tubuh sang bidadari, dia ingin selalu menikmatinya. “Tahu rasa kamu sekarang! Sendirian saja di rumah tanpa Mas Hendramu yang cacat dan supirmu yang sok jago itu!”



Tanpa menunggu aba - aba dari siapapun, Alya bergerak cepat dan segera berlari menuju kamar. Kalau ia sudah sampai di kamar, dia akan mengunci pintu sehingga Pak Bejo tidak bisa masuk.



Sayang, laki - laki tua gemuk itu lebih cepat.



Dengan gerakan tak terduga yang lincah Pak Bejo menubruk Alya. Tidak menunggu lama, pria tua itu dengan paksa mencoba membuka baju sang ibu muda. Alya mencoba berteriak, namun mulutnya lalu dibekap oleh Pak Bejo, ia bahkan tidak bisa meronta karena eratnya pelukan sang preman kampung. Nasibnya kini ada di tangan Pak Bejo! Lagi - lagi dia akan diperkosa!



Pak Bejo mendengus - dengus seperti babi, nafsunya sudah memuncak hingga ke ujung ubun - ubun. Dia sudah tidak tahan, sekali dia bisa memasukkan penisnya ke memiaw Alya, dia akan memuntahkan semua pejuhnya di dalam perut ibu muda yang cantik itu! Dia akan hamili istri Hendra yang molek itu! Kalau sudah hamil, Alya pasti akan selalu merindukan ayah anaknya!



Alya yang tak berdaya meringkuk dalam pelukan Pak Bejo. Air matanya kembali mengalir walaupun mulutnya kini terkatup rapat. Ia tetap tidak mau membuka mulut saat Pak Bejo menyorongkan bibirnya untuk mencium bibir mungil Alya.



Pak Bejo yang sudah tak tahan melucuti bajunya sendiri, ia melepaskan celana dan membuka kancing bajunya, ia ingin segera menelanjangi Alya ketika tiba - tiba… terdengar suara dari jarak yang tidak begitu jauh.



“Lepaskan Bu Alya! Bajingan tengik!”



Suara itu lagi! Sial banget! Itu suara Paidi! Pak Bejo menoleh dan mendesis kesal. “Kurang ajar!! Lagi - lagi kamu! Lonthe ini milikku! Dasar Anj…”



Plaaaaaaaaakkkk!!!



Belum sampai Pak Bejo menyelesaikan kata - kata yang ia ucapkan, Paidi sudah menamparnya dengan sangat keras. Begitu kerasnya hingga tubuh Pak Bejo terlempar dari atas tubuh Alya. Si cantik itu meringkuk ketakutan, dia lega sekali melihat kedatangan Paidi.



“Sudah saya bilang, lepaskan! Jangan salahkan saya kalau saya jadi gelap mata! Saya minta dengan sangat untuk yang terakhir kalinya, tolong hormati majikan saya! Jangan berani - berani mendekatinya lagi! Selama ada saya disisinya, tidak akan saya biarkan siapapun juga menyakitinya! Mengerti!? Saya harap Pak Bejo sadar kalau Pak Bejo sudah tidak dibutuhkan lagi oleh keluarga ini! Pergi jauh - jauh dan jangan pernah kembali lagi!!” bentak Paidi dengan galak.



Melihat ketangguhan dan kekerasan hati Paidi, Pak Bejo mau tak mau gentar juga melihatnya. Ia sudah mendengar berita Kribo yang dihajar oleh lelaki ini tempo hari. Dengan langkah gemetar, preman tua itu meninggalkan Alya dan Paidi.



“Kau… kau… bajingan! Tunggu pembalasanku! Tunggu saja!” Pak Bejo memegangi pipinya yang memerah karena kerasnya tamparan Paidi. Pria gemuk itu langsung berlari tunggang langgang tanpa mempedulikan pakaiannya yang masih belum dikenakannya dengan benar.



Paidi mendengus. Orang seperti Pak Bejo kadang memang tidak boleh diberi hati. Dia harus diberi pelajaran supaya tidak memperlakukan orang lain dengan semena - mena. Dasar preman kampung tidak tahu diri! Belum cukup rupanya dia menghajar anak buahnya tempo hari. Paidi menengok ke belakang dan melihat ke arah Alya yang duduk bersimpuh dengan lemas. Pakaiannya terkoyak dan matanya berkaca - kaca. Dia memandang ke arah Paidi dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata - kata.



Dengan lembut Paidi berjongkok di depan Alya, dia merapikan rambut dan baju Alya. “Orang itu sudah pergi, Bu. Semua akan baik - baik saja mulai sekarang. Saya akan melindungi ibu.”



“Sudah pergi…?”



“Iya. Pak Bejo sudah pergi, semua pasti baik - baik saja. Ibu tidak apa - apa kan?”



Alya menggeleng. Dia masih belum bisa mempercayai kejadian yang baru saja ia alami.



“Bagus kalau begitu. Mari saya bantu berdiri.” Kata Paidi sambil mencoba mengangkat lengan Alya.



Tapi Alya tak bergeming, ia memandang ke arah Paidi dengan pandangan yang sayu dan lemah. Matanya yang berkaca - kaca kini mulai meneteskan air mata. Wanita cantik itu akhirnya tak kuat lagi, ia menangis dan berteriak keras dalam pelukan Paidi.



Dengan lembut Paidi mengelus - elus punggung dan rambut majikannya yang sangat indah. “Jangan khawatir, Bu. Mulai sekarang saya akan selalu melindungi Ibu. Orang itu tidak akan saya ijinkan mendekati Ibu lagi. Saya tidak akan membiarkan orang itu menganggu wanita yang saya cintai.”



Tadinya Alya terus saja menangis, menumpahkan semua kekesalan dan penat yang ia rasakan dalam pelukan supirnya. Namun ia tersentak ketika mendengar kata - kata cinta keluar dari mulut Paidi. Alya mundur dari pelukan Paidi, ia menghapus air mata yang leleh di pipi. Keduanya terdiam beberapa saat lamanya, saling memandang dan mendalami perasaan masing - masing.



“Ka… kamu… apa yang kamu…?” tanya Alya dengan terbata - bata.



“Saya mencintai Bu Alya.” Jawab Paidi dengan bersungguh - sungguh.



“Be… benarkah?”



Paidi mengangguk, sudah kepalang basah, ia tidak akan mundur lagi. Ia benar - benar telah mencintai Alya. Tidak masalah kalau ia ditolak dan harus mengundurkan diri menjadi supir keluarga karena toh Alya telah berkeluarga, yang penting, ia telah melindungi wanita yang ia cintai dan membuktikan cintanya tidak hanya sekedar keinginan yang berlandaskan nafsu semata.



Alya masih terus menatap mata Paidi dengan pandangan berlinang. Lalu… dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Alya menyorongkan kepala ke atas, menarik kepala Paidi ke bawah, dan mencium bibirnya dengan lembut.



Paidi kaget sekali melihat reaksi Alya ini, ia tidak mengira majikannya itu akan menciumnya. Namun Alya adalah wanita yang sangat diidam - idamkannya. Mendapat ciuman dari Alya bagaikan mendapat anugerah yang tak ternilai harganya. Paidi membalas ciuman Alya dengan sapuan lembut di bibir. Mereka saling melumat dan memberikan nafas, menyapu bibir dan lidah dengan kelembutan. Setelah lama tak merasakannya, baru kali inilah Paidi sadar, ia telah memperoleh apa yang telah ia damba selepas kehidupan kelamnya, ia telah memperoleh cinta.



Setelah cukup lama mereka berciuman lembut, Alya akhirnya melepas bibir Paidi.



Paidi terdiam tak mampu bicara, bibirnya bergetar karena merasakan keindahan yang telah lama ia idam - idamkan.



“Mas…”



“I… Iya, Bu?”



“Maukah kamu tidur lagi denganku?”



Pandangan mata Paidi terbelalak kaget.



###



Ketika masuk ke kamar Paidi, Alya baru sadar kalau ternyata kamar supirnya itu sangat bersih dan rapi. Ia tidak sempat memperhatikan ketika masuk ke tempat ini tempo hari. Barang - barangnya disusun di pojok, tempat tidurnya juga sangat bersih, sepreinya harum seperti baru dicuci. Kamar yang sebelumnya dijadikan gudang itu juga sangat wangi. Alya jadi semakin kagum dengan pria yang telah menyelamatkannya dari cengkraman Pak Bejo ini. Walaupun punya masa lalu yang bisa dibilang tidak menyenangkan, Paidi adalah pria yang mengagumkan. Paidi memang telah menceritakan masa lalunya yang kelam, menjadi seorang penghuni bui karena kesalahannya yang fatal. Kini Paidi ingin memperbaiki kesalahannya itu.



Bagaikan pengantin yang baru saja menikah, tanpa diminta Paidi mengangkat tubuh Alya dan meletakkan tubuh indahnya dengan lembut di atas ranjang. Walaupun awalnya kaget, namun Alya menuruti saja kemauan lelaki tua perkasa itu. Kain seprei yang bersih dan harum membuat Alya tidak merasa jijik, ia bahkan sangat kagum dengan kerajinan dan kebersihan Paidi, sungguh sangat jarang laki - laki seperti ini. Paidi duduk di samping Alya yang terbaring. Dengan berani istri Hendra itu menyentuh pundak laki - laki kurus dan tua yang rebah disampingnya. Ia menyentuh pundak Paidi tanpa melepaskan pandangan dari mata pria yang pernah berjualan bakso itu. Tangan lembut Alya meraih bagian belakang kepala Paidi dan menariknya ke bawah, lalu bibir seksi si cantik itu mengecup bibir sang supir.



Ciuman lembut Alya yang tulus mengoles bibirnya bagaikan obat untuk semua lelah, gelisah dan keluh kesah yang pernah Paidi keluarkan seumur hidupnya. Olesan lembut bibir mungil majikannya itu juga membuat tubuh Paidi bagaikan disentak aliran listrik berjuta volt, seandainya dia adalah sebuah baterai hidup, Paidi sudah langsung tercharge dengan energi hingga penuh. Bibir mereka berdua saling mengelus, saling menimang, beruntai, berjalin, menikmati sentuhan pelan dan nikmat yang tak bisa diungkap dengan kata.



“Mmmhh…” desah Alya manja. Ia memejamkan mata dan membiarkan bibir Paidi menari di atas bibirnya yang lembut, membiarkan bibir tebal dan keras sang sopir menyelimuti bibirnya yang ranum. Olesan bibir Paidi tidak seperti bibir Hendra yang lembut atau bibir Pak Bejo yang kasar dan menuntut.



Lama pagutan bibir mereka tak saling lepas, Paidi mulai mengeluarkan lidahnya yang bagai ular. Lidah Paidi membuat Alya makin tak berkutik dan tenggelam sepenuhnya dalam pelukan sang sopir.



“Mas?” tanya Alya ketika bibir mereka lepas sejenak.



“Hmm?”



Alya tak buru - buru menjawab karena kembali menikmati lidah dan bibir Paidi.



“Aku… mhh… mmhh… mau… tanya…”



“Hmm?”



Kembali bibir Paidi menggelayut di bibir sang kekasih namun kali ini Alya menolaknya.



“Iiihhh… Mas nakal! Aku kan mau tanya sesuatu yang penting, jangan digangguin dulu!”



“Habis bibir kamu menggemaskan, mungil dan mengundang, aku jadi tidak tahan.” Kata Paidi sambil tersenyum. “Baiklah, kamu mau tanya apa, sayang?”



“Bagian mana dari tubuhku yang paling Mas Paidi suka? Akan langsung aku berikan sekarang juga.” Kata Alya sambil menggigit bibir bawahnya dengan genit.



“Aku suka semuanya.”



“Ah, jawaban gombal.”



“Kalau begitu… aku suka dari ujung kaki sampai ujung rambut.”



“Hi hi hi, aku nggak percaya. Mana ada yang suka ujung kaki aku.”



“Aku suka.”



“Bohong.”



“Eh, gak percaya? Baik aku buktiin!”



Paidi membalik badannya dengan cepat tanpa mempedulikan protes Alya yang tertawa.



“Aku kan cuma becanda, Mas!”



Paidi membuktikan kesungguhannya dengan menciumi jempol dan jemari kaki Alya. Si cantik beranak satu itu adalah wanita yang amat memperhatikan kebersihan, sehingga Paidi tidak sedikitpun merasa jijik karena kaki Alya sangat mulus dan bersih. Mirip kaki seorang bayi yang lembut dan suci. Paidi mencium dan menjilat - jilat kaki sang kekasih dengan sepenuh hati. Alya bergetar karena rangsangan Paidi ini.



“A… aku percaya, Mas… aku percaya…”



Sambil tersenyum puas Paidi mengelus lembut betis sang bidadari. Tentu saja pria tua itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia mengeluskan tangannya dari bawah ke atas, naik ke arah paha mulus Alya. Kaki Alya yang jenjang membuat Paidi terkagum - kagum, begitu mulus, indah dan putih, sangat sedap dipandang. Alya memiliki karunia yang sangat lengkap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, semua indah dan sempurna.



Tapi bidadari itu kini tengah dilanda nafsu birahi yang meledak - ledak, ia tidak mau tangan Paidi hanya mengelus - elus betis dan pahanya saja, ia ingin lebih. Sambil berbaring di ranjang, Alya memberanikan diri mengelus batang kemaluan Paidi yang masih tersembunyi di balik celana. Tangannya yang lembut bergerak naik turun dengan perlahan, membuat sekujur tubuh Paidi merinding keenakan. Siapa yang tidak mau penisnya dikocok wanita semolek Alya? Hanya dengan melihat pandangan mata Alya yang berbinar, Paidi tahu kalau Alya merindukan permainan cinta yang sebenarnya, bukan perkosaan brutal ala Pak Bejo, atau hubungan dingin tanpa perasaan seperti yang ditunjukkan Hendra. Paidi akan membuat si cantik ini menikmati seks yang indah bersamanya.



Perlahan Paidi menurunkan celana berikut celana dalamnya. Batang kemaluannya menegak kencang di hadapan wajah cantik Alya.



“Mas… aku ingin… mmm… boleh aku…?” tanya Alya malu - malu. “Mmm… bolehkah?”



Alya tidak melanjutkan kata - katanya saat ia melihat Paidi mengernyit keenakan. Elusan lembut jemari Alya pada batang kemaluan Paidi membuat mantan penjual bakso itu bergetar dan menggelinjang tak kuasa menahan nafsu. Hal itu membuat Alya tersenyum tertahan, seperkasa apapun Paidi, ia ternyata tidak tahan dengan jari - jarinya yang lembut.



Sembari menikmati elusan lembut jemari Alya pada penisnya, Paidi melucuti pakaian yang ia kenakan. Ia ingin bersentuhan langsung dengan kulit mulus Alya, tanpa terhalang baju mereka. Seakan mengerti kemauan Paidi, Alya mengikuti dengan melucuti pakaiannya sendiri. Ia berhenti sebentar mengelus penis Paidi untuk membuka baju. Pria tua itu mengerang kecewa ketika Alya berhenti menyentuh kemaluannya, namun karena ia mendapati Alya sudah tak berbusana ketika ia membuka mata, Paidi tak mengeluh sedikitpun.



Paidi berdecak kagum ketika kembali bisa menikmati keutuhan tubuh molek Alya. Benar - benar seorang bidadari yang turun dari langit, sempurna tiada duanya. Bila dibandingkan dengan bintang sinetron, mungkin Alya lebih cantik dan seksi, kini bayangkan jika tubuh sesempurna itu dipersembahkan untuk pria seperti Paidi! Pandangan matanya tak ingin lepas dari kesempurnaan Alya, wajah cantik lembut dengan rambut yang terurai indah, kulit mulus seputih susu yang memancarkan keharuman mewangi, payudara sempurna yang sintal dan menggairahkan, pinggang ramping, pantat bulat, semua - untuk Paidi.



Alya diam saja tanpa mempedulikan kekaguman Paidi kepadanya dan meneruskan ‘pekerjaannya’ memainkan kemaluan Paidi.



Paidi buru - buru sadar dari rasa kagum yang membuatnya terbengong - bengong dan segera kembali ke posisi semula, ia berbaring dan membiarkan wajah Alya tepat berada di depan penisnya sementara ia sendiri berhadapan langsung dengan kaki sang bidadari. Saat itulah pria tua yang perkasa itu menurunkan wajahnya hingga ke kaki sang bidadari. Alya meringis keenakan saat Paidi beraksi, tanpa malu - malu pria tua yang pernah berjualan bakso itu menjilati dan menciumi ujung - ujung jemari kaki Alya. Paidi melakukan aksinya dengan sangat pintar dan membuat Alya menggelinjang, ibu muda satu anak yang statusnya adalah istri orang itupun tak kuasa menahan desahan demi desahan yang terus menerus keluar dari bibir mungilnya.



“Auhhhhhmmm, Masss… geli mass… jangan… aaaaahhhh…” tangan Alya tak beranjak dari batang kemaluan Paidi, terus meremas dan mengocok penisnya yang besar dan hitam sementara sang supir mencumbu dan mengulum jari - jari kaki dan betisnya. Melihat Alya keenakan, Paidi menarik kaki wanita cantik yang mulus dan jenjang itu ke bawah. Jengkal demi jengkal sisi - sisi kaki Alya dicumbui dengan buas oleh Paidi, si cantik itu makin tak tahan dibuatnya, kakinya bergerak tak menentu arah, menyepak kesana kemari. Paidi tersenyum, dengan tangannya yang berotot dipegangnya kaki Alya erat - erat, lalu dijilatinya seluruh bagian kaki Alya yang sangat putih dan indah itu.



“Aaaahh, Massss… ouuuhhh, jahaaaat… geli ahhhh!!”



Paidi melanjutkan ciuman dan jilatannya tanpa memperdulikan desahan manja sang ibu muda. Alya memejamkan mata menahan nafsunya yang menggelegak hebat karena foreplay yang dilakukan oleh Paidi. Semua perasaan jijik yang selama ini dipelihara karena tidur dengan laki - laki yang tidak ia sukai ia lepaskan dengan bebas bersama Paidi. Laki - laki ini memang bukan Hendra, tapi paling tidak ia bukan Pak Bejo. Alya melenguh dan mengembik tanpa malu, membiarkan suaranya lepas menyebar ke seluruh penjuru rumah. Seluruh penat dan stress karena masalah Pak Bejo dan Hendra membuat Alya menyerahkan seluruh tubuhnya pada Paidi.



Paidi kini tak hanya menggunakan lidah dan mulutnya saja, tangannya bergerak menyentuh paha Alya dan mengelus - elusnya lembut. Tak pernah ia membayangkan sebelumnya kalau ia mampu melakukan hal ini selepas keluar dari penjara, yaitu mengelus - elus paha mulus seorang wanita cantik dan terhormat seperti Alya.



Istri Hendra itu masih memejamkan mata, ia membiarkan saja tangan Paidi bergerak nakal menyusuri pahanya yang putih mulus sampai ke pangkal paha. Setelah bagian bawah kaki Alya yang jenjang basah oleh ciuman dan jilatan bibir dan lidah Paidi, kini giliran paha mulus Alya yang diserang.



Ibu muda satu anak itu membuka pahanya lebar - lebar memperlihatkan keindahan bibir kemaluannya yang merekah merah muda, kuncupnya yang mungil mempesona Paidi. Ia kagum Alya masih memiliki bentuk vagina yang indah padahal sudah memberikan keperawanan pada Hendra, melahirkan Opi dan tidur berkali - kali dengan Pak Bejo.



Jari jemari Paidi bergerak lincah menyusuri daerah sekitar kemaluan Alya tanpa sekalipun menyentuh bibir vaginanya. Tubuh Alya menggelinjang karena menahan nafsu yang kian lama kian tak tertahankan. Sekali - sekali Paidi menyentuhkan jarinya ke bibir kemaluan Alya seakan tak disengaja.



“Ahhhh!! Ahhh!!” desah Alya manja, tubuhnya bergetar hebat tiap kali Paidi memancingnya. Tak tahan oleh perlakuan sang supir, Alya melenguh panjang, kepalanya bergerak makin tak terkendali ke kanan kiri sementara matanya masih terus terpejam. Melihat gerakan erotis dan lenguhan manja sang majikan, Paidi makin berani. Dengan nekat pria kurus berkulit gelap itu mendorong kepalanya masuk ke pangkal paha Alya.



“Aaaaaaaaaaahhhh!!!” Alya kembali mengeluarkan desahan panjang.



Paidi terus melaksanakan niatnya menguasai daerah kemaluan Alya dengan bibir dan lidahnya. Hisapan, ciuman dan jilatan silih berganti menyerang sang ibu muda. Belum sampai kemaluan Paidi masuk, liang cinta Alya sudah mulai basah. Bahkan Paidi bisa melihat tetesan air cinta mengalir tipis dari bibir mungil kemaluan sang kekasih. Alya mengangkat pantatnya, meminta bibir Paidi terus mengelus bibir vaginanya. Dengan lembut Paidi menyusuri rambut kemaluan Alya yang lembut. Paidi paling suka dengan wanita seperti Alya, dia merawat rambut kemaluannya dengan mencukurnya rajin, baunya juga sangat wangi dengan aroma khas. Paidi sengaja menggoda Alya dengan menghembuskan nafas ke liang memiawnya tanpa menyentuh. Alya tak tahan lagi, dia sodorkan bibir kewanitaannya ke mulut Paidi.



Dengan kedua jarinya, Paidi membuka sedikit mulut kemaluan Alya. Iapun segera mencari titik kelemahan sang ibu muda - klitorisnya. Ketika tonjolan kecil yang mematikan itu berhasil ditemukan, Paidi memperlancar aksinya menaklukkan Alya. Jilatan, hisapan dan sedotannya membuat tubuh Alya melonjak - lonjak bagai kuda liar yang sangat binal. Paidi bahkan harus memegang erat tubuh Alya agar tak terlonjak jatuh dari ranjang. Paidi melumat lembut kelentit sang wanita cantik yang ada dalam pelukannya, ciumannya lalu beralih ke sisi luar bibir vagina dan akhirnya ke bawah, masuk ke dalam liang cintanya. Sekali lagi Alya melonjak ke atas dan mendesis dengan keras, wajahnya yang cantik terlihat histeris namun ia berusaha keras menahan teriakannya.



“Mas! Sudah, Mas! Aku tidak kuat lagi! Masukkan! Ayo! Masukkan…”



Paidi tidak begitu saja menuruti permintaan Alya. Ia mainkan dulu lidahnya di bibir memiaw Alya. Gerakan kaki sang bidadari makin tak tertahan, ia menendang kesana kemari tanpa sasaran. Kepalanya berpaling ke kanan dan kiri dengan mata terpejam dan keringat yang terus bercucuran. Alya mengambil bantal dan menggigit ujungnya untuk menahan kenikmatan yang terus ia rasakan. Ketika Paidi menyedot cairan cinta yang menetes keluar dari memiaw Alya, rasa gelinya ia alirkan dengan menggigit ujung bantal.



Lidah Paidi makin berkuasa. Ia mendorong lidahnya masuk ke memiaw Alya, menjilat dinding yang ada di dalam, menari dan bergoyang tanpa ampun. Jari jemari Paidi membuka sedikit bibir memiaw Alya agar lidahnya bisa lebih leluasa.



“Sudah, Mas! Sudah cukup! Aku tidak tahan lagi!” desis Alya untuk yang kesekiankali.



Paidi mengangkat kepala dan tubuhnya, kini ia membenamkan bibirnya ke telinga sang bidadari. Orang yang pernah menjadi narapidana itu terus membisikkan kata - kata mesra ke telinga Alya, sementara tangannya asyik memainkan pentil susu yang sudah sangat menjorok keluar. Istri Hendra itu sudah sangat bernafsu, wajahnya memerah karena sangat menginginkan kemaluan Paidi. Ia mengelus dada Paidi dan meminta dengan pandangan memelas. Paidi tahu apa yang diinginkan oleh majikannya yang jelita itu, ia segera mengambil posisi.



Paidi kembali mengincar klitoris milik Alya. Benda mungil yang menjorok tepat di dalam area kemaluan sang bidadari itu dijilatnya ke kanan dan kiri, digerakkan naik turun. Bagi seorang wanita, titik kelemahan inilah yang membuatnya tak tahan menerima godaan laki - laki. Begitu pula bagi Alya, tubuhnya melejit dan pantatnya diangkat tinggi - tinggi, cairan cintapun meleleh membasahi bibir kemaluan si cantik itu. Ketika Paidi nekat menyeruput cairan cinta Alya, istri Hendra itupun menggelinjang keenakan dan meronta.



“Masssss… ahhhhh… ooooohhhhmmm… jangan dimaininnnn…” Alya merem melek keenakan, dia sudah tidak tahan lagi. “Ayo masukkan, Mas! Cepeeeet!! Aku tidak tahaaaan!!” rengeknya manja.



Dengan hati - hati Paidi menaiki tubuh sempurna milik Alya, putihnya kulit mulus Alya yang bagai pualam membuat pria tua kurus itu terkagum - kagum. Kontras sekali kulit bidadari ini dengan kulitnya yang hitam legam. Apalagi melihat payudara sempurna yang tak puas - puas remas dengan gemas. Betapa kagetnya Paidi ketika Alya nekat menarik batang kemaluannya yang sudah mengeras.



“Ouuuughhhh, besar sekali… ehmmmm… masukin, Masssss!! Cepeeettt!!”



Tentu saja Paidi tidak ingin begitu saja menyodokkan penisnya ke memiaw Alya walaupun dia sangat ingin. Dengan gerakan ringan, digoyangkan ujung gundul penisnya ke bibir kemaluan Alya tapi selalu ditariknya batang kemaluan itu ketika Alya ingin membimbingnya masuk ke dalam.



“Aaaahhh! Gimana sih!! Ayoooo, aku sudah tidak tahaaaann!!!” rengek si cantik.



Dengan hati - hati batang kemaluan Paidi ditarik oleh Alya masuk ke dalam liang kemaluannya. Bagi Paidi, ini yang namanya mimpi menjadi kenyataan. Sang majikan yang cantik jelita dan seksi sangat bernafsu menikmati kemaluan supirnya yang buruk rupa, kurus dan hitam legam. Alya sudah tidak ingat lagi statusnya sebagai istri Hendra ataupun ibu Opi, ia hanya ingin disetubuhi saat ini - - disetubuhi oleh penis raksasa Paidi!



Penis Paidi melesak masuk dengan mudah karena memiaw Alya sudah sangat basah, cairan pelumas yang keluar di dalam liang kenikmatan Alya membanjir dengan deras, memudahkan batang kemaluan Paidi melesak masuk ke dalam. Alya mengerang dan menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan, ia menderita dalam kenikmatan. Ketika melihat Alya sedikit kesakitan, Paidi menunda menyodokkan penisnya, tapi Alya justru mengangkat pantatnya, ingin segera digenjot.



Paidi memaju mundurkan pinggulnya dengan perlahan, ia takut menyakiti vagina Alya. Tapi wanita cantik itu sudah terlalu tenggelam dalam kenikmatan birahi yang tanpa ujung. Paidi tak puas - puasnya memandang kecantikan dan kemolekan wajah dan tubuh Alya. Lekuk tubuhnya yang sempurna, buah dadanya yang kenyal, pinggang ramping dan kulit putih mulus sang majikan. Ia bagaikan berada di awang - awang, tak percaya ia ternyata berhasil menikmati keindahan tubuh istri Hendra yang sangat seksi ini.



“Masss… aku nggak tahan… terussss… aaaahhhh…” Alya merengek manja.



Paidi tidak mampu menjawab karena merem melek keenakan. memiaw Alya meremas - remas kemaluannya, memilin dan menggilingnya dalam liang kenikmatan yang sempit dan lembab. Ia tidak menyangka memiaw ibu satu anak ini masih begitu sempit dan nikmat, penisnya seakan disedot ke dalam tubuh Alya. memiaw si cantik itu lama kelamaan makin basah oleh cairan kenikmatan yang keluar dari dalam, membuat goyangan penis Paidi seakan menumbuk liang yang becek.



Desahan manja dan kecantikan Alya membuat Paidi makin tak kuat menahan nafsunya. Dengan penuh tenaga pria tua kurus berkulit gelap itu mempercepat gerakan menumbuknya. Alya makin kebingungan, sakit sekaligus enak sekali rasanya, ia tidak tahu harus berbuat apa. Alya hanya bisa mengimbangi gerakan memilin Paidi dengan menggerakkan pinggulnya maju mundur. Kemaluan Paidi yang ukurannya sangat besar memenuhi liang kenikmatannya dengan penuh, hanya dengan menggerakkan pinggulnya sedikit, penis itu sudah sampai di ujung terdalam dinding memiaw Alya, si cantik itupun belingsatan dan merem melek keenakan.



Tempat tidur Paidi makin tak berbentuk, sepreinya acak - acakan, bantal dan gulingnya terjatuh entah kemana. Makin lama, kedua insan yang sedang bercinta itu semakin dekat ke puncak kenikmatan. Paidi berusaha keras menahan orgasme, ia tak ingin terlalu cepat mengeluarkan air maninya, ia masih ingin menikmati memiaw Alya yang nikmatnya bagaikan surgawi. Tapi ia tak bisa mengingkari kekuatannya sendiri, dengan sekuat tenaga, Paidi menyodokkan penisnya berkali - kali ke dalam memiaw Alya yang menjerit - jerit penuh kenikmatan. Akhirnya Paidi mengeluarkan satu lolongan panjang, ia meremas bahu Alya kuat - kuat. Ia hampir sampai di puncak kenikmatan.



Alya yang tahu Paidi sudah hampir orgasme juga tak mau kalah, ia menggerakkan tubuhnya dengan gerakan menggila dan mendaki jalan nikmat menuju puncak. Alya sudah tidak peduli lagi dengan posisinya sebagai majikan Paidi ataupun statusnya sebagai istri Hendra dan ibu satu anak. Ia hanya ingin memuaskan birahinya secara alami, tanpa paksaan, tanpa tuntutan. Alya mengangkat kakinya dan mengapit pinggul Paidi, ia sodokkan pantatnya ke atas untuk melesakkan penis Paidi lebih dalam lagi. Akhirnya si cantik itu sampailah ke ujung perjalanan permainan cinta ini, ia mengerang tanpa terkendali.



“Masssss! Massss! Aku mau keluaaaaaar!!” jerit Alya panik, ia tak kuat lagi menahan orgasme. “Ahhhhhh! Aaahhhh!!!”



“Ahhhhmmm!! Ayo sayang! Kita sama - sama keluar! Aaahhh!!! Alyaku sayaaaang!!”



Semprotan demi semprotan air mani mengalir deras di dalam memiaw Alya, bercampur dengan cairan cinta yang memancar dari dalam. Cairan kental meleleh dari ujung bibir kemaluan sang ibu muda, membuktikan penyatuan kedua tubuh insan berlainan jenis ini.



Desah nafas kelelahan berpacu dari mulut Alya dan Paidi yang masih berpelukan dalam ketelanjangan, keringat deras membanjir di seluruh tubuh mereka, kemaluan Paidi masih bertahan di dalam liang lembut Alya. Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdua hanya terdiam, membiarkan waktu berlalu dan mencoba memperoleh kembali nafas mereka yang kembang kempis.



Tangan Paidi menggenggam erat tangan Alya, untuk sesaat sekalipun, ia tidak mau melepaskannya. Ia ingin terus bisa melakukan ini, ia ingin terus bisa menikmati keindahan tubuh sang majikan… ah bukan… ia ingin terus bisa menikmati tubuh indah sang kekasih pujaan. Ya, walaupun di mata orang luar mereka adalah majikan dan sopir, tapi Paidi dan Alya kini resmi menjadi sepasang kekasih.



Mata mereka saling berpandangan, mencoba menyelami perasaan masing - masing. Paidi tahu, walaupun ada kepuasan dalam diri Alya, namun matanya yang indah itu tak bisa berbohong. Ia menyimpan kesedihan yang teramat dalam. Paidi tahu apa yang mereka lakukan ini salah, Alya adalah istri sah Hendra dan ia mungkin telah menggoda wanita cantik itu untuk berselingkuh. Mungkin apa yang mereka berdua rasakan bukan cinta, mungkin hanya nafsu… tapi… seandainya diijinkan, ia ingin selalu bersama… selamanya.



Alya menatap mata Paidi tajam, entah kenapa ia terlihat ragu hendak mengungkapkan sesuatu. “Mas, aku… bolehkah aku menanyakan sesuatu? Sebenarnya aku malu… tapi…”



“Boleh saja, sayang. Mau tanya apa?”



“Mas… emmm, sudah capek belum?… emm… mau… lagi?” Alya mengedip genit dan tersenyum manja.



Paidi tertawa geli. Ia memeluk bidadarinya erat - erat tanpa sedikitpun keinginan melepas tubuh indahnya. “Apapun yang kamu minta, sayang. Apapun yang kamu minta.”



Dengan manja Alya mengangkat tangan Paidi dan membiarkan jemarinya mengelus pantatnya yang bulat, Alya kemudian menggoyangnya tanpa merasa malu. “Mau coba dari belakang?” tanya si cantik itu dengan senyum nakal.



Ini bukan kali pertama baginya, dan jelas bukan yang terakhir.



Malam pun terasa panjang untuk mereka berdua.

 

blogger templates | Make Money Online